Tolong Klik Disini Untuk Membantu Saya Membeli Roti Setiap Harinya!

askep Trauma Kepala

2.1   Trauma Kepala

A.     Pengertian

Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).
Trauma kepala meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak. Trauma kepala paling sering terjadi dan merupakan penyakit neurologis yang serius diantara penyakit neurlogis lainnya serta mempunyai proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya.
Lebih dari setengah dari semua pasien dengan trauma kepala berat mempunyai signifikansi terhadap cedera bagian tubuh lainnya. Adanya shock hipovolemik pada pasien trauma kepala biasanya karena adanya cedera bagian tubuh lainnya.
Resiko utama pasien yang mengalami trauma kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial (PTIK).

B.     Kalisifikasi

Klasifikasi trauma kepala berdasarkan  Nilai Skala Glasgow (SKG):
a.       Minor
1.      SKG 13 – 15
2.      Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
3.      Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
b.      Sedang
1.      SKG 9 – 12
2.      Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
3.      Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c.       Berat
1.      SKG 3 – 8
2.      Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
3.      Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
C.     Etiologi

1.      Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2.      Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3.      Cedera akibat kekerasan.

D.     Patofisiologi

Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.


  1. Pathway

           Trauma kepala





             Ekstra kranial                               Tulang kranial                                Intra kranial
Jaringan otak rusak (kontusio, laserasi)
 
Terputusnya kontinuitas jaringan kulit, otot dan vaskuler
 
 








Terputusnya kontinuitas jaringan tulang
 










-Perdarahan
-Hematoma
 
                                                                                                                                                 











Girus medialis lobus temporalis tergeser
 
 















F.      Manifestasi Klinik

Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
1.      Kebingungan
2.      Iritabel
3.      Pucat
4.      Mual dan muntah
5.      Pusing kepala
6.      Terdapat hematoma
7.      Kecemasan
8.      Sukar untuk dibangunkan
Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

G.    Komplikasi

1.      Hemorrhagie
2.      Infeksi
3.      Edema
4.      Herniasi

H.    Pemeriksaan Penunjang

1.      Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)
2.      Rotgen Foto
3.      CT Scan
4.      MRI

I.       Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:
1.   Observasi 24 jam
2.   Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu
3.   Berikan terapi intravena bila ada indikasi
4.   Anak diistirahatkan atau tirah baring
5.   Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6.   Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi
7.   Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi
8.   Pembedahan bila ada indikasi.

2.2  Trauma Medula Spinalis

A.     Pengertian

Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001).
Trauma medulla spinalis adalah kerusakan tulang dan sumsum yang mengakibatkan gangguan sistem persyarafan didalam tubuh manusia yang diklasifikasikan sebagai :
a.       Komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total)
b.      Tidak komplet (campuran kehilagan sensori dan fungsi motorik)
Cidera medullan spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan sering kali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah servikal pada lengan, badan dan tungkai mata penderita itu tidak tertolong. Dan apabila saraf frenitus itu terserang maka dibutuhkan pernafasan buatan, sebelum alat pernafasan mekanik dapat digunakan.

B.     Etiologi

a.       Penyebab dari cidera medulla spinalis yaitu :
b.      kecelakaan otomobil, industri
c.       terjatuh, olah-raga, menyelam
d.       luka tusuk, tembak
e.       tumor.

C.     Patofisiologi

Kerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien sembuh sempurna) sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla, (lebih salah satu atau dalam kombinasi) sampai transaksi lengkap medulla (membuat pasien paralisis).
Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke ekstradul subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada cedera, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cidera medulla spinalis akut.
Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulakn iskemia, hipoksia, edema, lesi, hemorargi.

Trauma medulla spinalis dapat terjadi pada lumbal 1-5
1.      Lesi 11 – 15 : kehilangan sensorik yaitu sama menyebar sampai lipat paha dan bagian dari bokong.
2.      Lesi L2 : ekstremitas bagian bawah kecuali 1/3 atas dari anterior paha.
3.      Lesi L3 : Ekstremitas bagian bawah.
4.      Lesi L4 : Ekstremitas bagian bawah kecuali anterior paha.
5.      Lesi L5 : Bagian luar kaki dan pergelangan kaki.

D.     Manifestasi Klinis

1.      Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena
2.      Paraplegia
3.      Tingkat neurologi.
4.      Paralisis sensorik motorik total
5.      Kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih)
6.      Penurunan keringat dan tonus vasomoto
7.      Penurunan fungsi pernafasan
8.      Gagal nafas
(Diane C. Baughman, 200 : 87)

E.     Komplikasi

1.      Neurogenik shock.
2.       Hipoksia.
3.      Gangguan paru-paru
4.      Instabilitas spinal
5.      Orthostatic Hipotensi
6.      Ileus Paralitik
7.      Infeksi saluran kemih
8.      Kontraktur
9.      Dekubitus
10.  Inkontinensia blader
11.  Konstipasi


F.      Pemeriksaan Penunjang

1.       Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulan (fraktur, dislokasi), unutk kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi
2.      Skan ct
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural
3.      MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
4.      Mielografi.
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
5.      Foto ronsen torak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada diafragma, atelektasis)
6.       Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal).
7.      GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi
(Marilyn E. Doengoes, 1999 ; 339 – 340)




G.    Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah cedera medula spinalis lebih lanjut dan untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis. Lakukan resusitasi sesuai kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan kestabilan kardiovaskuler.

Farmakoterapi
Berikan steroid dosis tinggi (metilpredisolon) untuk melawan edema medela.

Tindakan Respiratori
1.      Berikan oksigen untuk mempertahankan PO2 arterial yang tinggi.
2.      Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindari fleksi atau eksistensi leher bila diperlukan inkubasi endrotakeal.
3.      Pertimbangan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus) untuk pasien dengan lesi servikal yang tinggi.

Tidak ada komentar: