BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam perkembangan sejarah HAM, tepatnya pada konferensi HAM II di Wina (1993), disepakati secara consensus oleh anggota PBB bahwa Hak Asasi Manusia adalah universal (ia melekat pada manusia karena ia manusia) dan Hak Asasi Perempuan adalah Hak Asasi Manusia, juga disepakati bahwa “kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM”. Dan Hak Asasi perempuan sebagai HAM di Indonesia ditetapkan dalam UU No. 39/99 tentang HAM pasal 45-51.
Dari pernyataan di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa pada dasarnya Hak Asasi Kaum Perempuan benar-benar harus dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara-negara di seluruh dunia. Namun pada kenyataannya, diskriminasi dan tindak kekerasan pada perempuan tetap terjadi.
Sehubungan dengan itu, perlu segera dilakukan upaya perbaikan secara menyeluruh, dimulai dengan penyempurnaan persepsi yang benar tentang masalah Gender dan Hak Asasi Perempuan, kebijakan-kebijakan yang mendukung atau yang berpihak pada hak asasi perempuan dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah kami yang berjudul “Kekerasan Pada Wanita Serta Cara Pencegahan dan Penanggulangannya” adalah :
a. Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan pada wanita, sehingga mampu menyikapinya secara baik dan bijak.
b. Mengetahui jenis-jenis kekerasan yang biasa terjadi atau dialami oleh wanita dan dampak yang ditimbulkannya.
c. Mengetahui dan dapat berperan serta dalam upaya-upaya untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan pada wanita.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konvensi Wanita
Hak asasi perempuan telah dijadikan pembahasan dalam Konferensi Dunia pertama tentang perempuan di Mexico pada tahun 1975. Hal ini terjadi karena didasari oleh pengalaman perempuan bahwa meskipun negaranya telah menandatangani DUHAM, seperti Indonesia, diskriminasi maupun kekerasan pada kaum perempuan tetap terjadi. Sehubungan dengan kenyataan ini, maka pada tahun 1979 Sidang Umum PBB mengadopsi naskah yang telah diajukan oleh komisis status perempuan di PBB dengan menetapkannya sebagai Convention On the Elimination of All Types of Diserimination Againts Women (CEDAW), yang diterjemahkan secara resmi sebagai “Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan” (Konvensi Wanita). Konvensi ini adalah upaya di tingkat international untuk mempromosikan dan menegakkan hak perempuan agar bebas dari segala bentuk diskriminasi maupun tindak kekerasan. Konvensi wanita hingga saat ini merupakan satu-satunya konvensi internasional yang secara khusus menetapkan bahwa adalah hak perempuan untuk tidak didiskriminasi di berbagai bidang kehidupan.
Apa yang menjadi perhatian khusus di Konferensi di ICPD Kairo telah terlebih dahulu menjadi ketentuan dalam pasal 12 konvensi wanita yang mentakan bahwa :
· Negara mempunyai kewajiban untuk membuat peraturan yang memastikan/menjamin perempuan dan laki-laki mempunyai akses yang sama terhadap pelayanan kesehatan. “Kekerasan Terhadap Perempuan” merupakan resiko bagi kesehatan perempuan”.
· Di dalam negara ada kebiasaan-kebiasaan atau tradisi yang membahayakan kesehatan perempuan dan anak. Termasuk di dalamnya kebiasaan yang melarang makanan tertentu bagi perempuan hamil, prefensi terhadap anak laki-laki, dan sunat perempuan yang bisa merupakan genital mutilation.
2.2 Viktimisasi perempuan (kekerasan pada perempuan)
Dalam kaitan definisi sehat dari WHO, kesehatan seksual meliputi komponen fisik, mental dan sosial dan bukan hanya tidak sakit. Komponen tersebut terdiri atas :
1. Kemampuan laki-laki dan perempuan untuk sama-sama menikmati hubungan seksual.
2. Bebas dari pelecehan, paksaan dan kekerasan seksual.
3. Aman dari terjangkitnya penyakit menular.
4. Sukses dalam menjalani kehamilan yang diinginkan atau dalam mencegah kehamilan yang tidak diinginkan.
Kecuali komponen pertama, komponen-komponen lain, pada akhir-akhir ini lebih banyak mendapat perhatian dan dibahas sebagai viktimisasi yang dialami seseorang, karena dia berjenis kelamin perempuan.
Data yang ada menunjukkan bahwa lebih banyak perempuan yang menjadi korban (victim) dan perlakuan kekerasan terhadap perempuan lebih banyak dilakukan oleh laki-laki (Pemetaan kekerasan : komnas perempuan, 2001).
Ada beberapa alasan mengapa perempuan menjadi korban paksaan atau kekerasan seksual :
1. Secara fisik, perempuan umumnya lebih lemah jika dibandingkan dengan laki-laki.
2. Secara biologis, anak perempuan dan perempuan dewasa lebih rentan terhadap kekerasan seksual. Status perempuan yang biasanya lebih rendah atau posisi sub ordinasi perempuan di dalam masyarakat, menjadikan perempuan golongan yang rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi dalam keluarga, masyarakat, menjadikan perempuan golongan yang rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi dalam keluarga, masyarakat, bahkan negara. Sikap laki-laki terhadap perempuan mempunyai konstribusi yang besar terhadap terjadinya kekerasan kepada perempuan (Viktimisasi Perempuan).
Studi psikologi tentang perbedaan gender mengenai prilaku dan kepribadian perempuan dan laki-laki mengungkapkan bahwa agresifitas laki-laki lebih tinggi jika dibandingkan dengan perempuan.
2.3 Kekerasan berbasis gender dan kekerasan dalam rumah tangga
Dampak kekerasan berbasis gender terhadap kondisi kesehatan perempuan, sangat berbeda dari dampak kekerasan pada umumnya. Cedera fisik dan mungkin sekali sampai pembunuhan korban, merupakan dampak umum dari kekerasan terhadap perempuan, tetapi konsekuensi dari kekerasan seksual terhadap kesehatan perempuan lebih dari dampak kekerasan pada umumnya.
Diantara bentuk vitimisasi terhadap perempuan, perkosaan digolongkan sebagai kekerasan seksual yang ekstrim. Dalam tindakan perkosaan yang diserang memang tubuh perempuan, tetapi yang dihancurkan adalah seluruh jati diri perempuan. Dalam konteks konsep kesehatan, maka yang dihancurkan dalam diri perempuan korban perkosaan adalah kesehatan fisik, mental psikologis, dan sosialnya.
Kekerasan seksual dapat mengakibatkan kehamilan yang tidak dikehendaki, dengan konsekuensi pada kesehatan fisik, psikologi emosional dan sosialnya, dan dapat juga perempuan itu terjangkit penyakit menular yang bukan kesalahannya sendiri.
Kekerasan rumah tangga terjadi di semua kelas sosial, tetapi umumnya terjadi pada kelas yang kurang berpendidikan, pengangguran dan mereka yang hidup dalam kemiskinan. Kekerasan tersebut bisa terjadi dalam bentuk :
a. Kekerasan secara fisik
Seperti : mendorong, menampar, menendang, memukul, mengancam dengan pistol.
b. Kekerasan secara emosional
Seperti : Intimidasi, memaksa wanita untuk berada di rumah, menghalangi untuk bertemu saudara atau teman-temannya, mengancam dengan kekerasan.
Kekerasan dalam rumah tangga dalam berbagai bentuk sering terus berlangsung. Meskipun perempuan tersebut mengandung. Sering kali justru membuat perempuan lebih rentan dan kekerasan yang dialami dapat menyebabkan keguguran.
Selain keguguran, banyak perempuan yang mengalami pecah lambung karena kebiasaan menendang perut perempuan, sebagai salah satu bentuk kekerasan domestik (Sumber : Dokter RS Wamena, Papua).
2.4 Perkosaan
Perkosaan adalah bentuk hubungan seksual yang dilangsungkan bukan berdasarkan kehendak bersama. Karena bukan berdasarkan kehendak bersama, hubungan seksual didahului oleh ancaman dan kekerasan fisik atau dilakukan terhadap korban yang tidak berdaya, di bawah umur, atau yang mengalami keterbelakangan mental.
Perkosaan adalah suatu pseudo-seksual, suatu bentuk prilaku seksual yang lebih berhubungan dengan status, agresi, kontrol, dan dominasi, daripada kesenangan dan kepuasan seksual. Perkosaan adalah ekspresi gairah seksual bergabung dengan kekerasan, kemarahan atau kekuasaan.
A. Pelaku perkosaan
Pelaku perkosaan dapat dibagi dalam lima kelompok, yaitu :
1. Pria yang mengalami gangguan intelektual dan kesadaran, misalnya retardasi mental.
2. Pria dengan gangguan sosialisasi atau proses belajar.
3. Pria dengan gangguan kepribadian.
4. Pria dengan neurosis atau deviasi.
5. Pria normal
B. Akibat pemerkosaan
Korban perkosaan akan mengalami berbagai akibat yang dapat dikelompokkan menjadi akibat fisik dan psikis.
· Akibat fisik antara lain :
Kekoyakan alat kelamin dan bagian tubuh lainnya, perdarahan, infeksi, PMS, kehamilan atau bahkan pembunuhan.
· Akibat psikis yang dialami korban perkosaan antara lain :
Shock, ketakutan, tidak percaya kepada orang lain, keguncangan emosi, perasaan malu, marah, bersalah, terhina, merasa jiji/kotor pada diri sendiri, takut sendiri, insomnia, sulit mempercayai pria, takut untuk melakukan aktivitas seksual dsb. Jauh lebih lagi, kelak kalau mereka menikah, mungkin sulit menikmati kehidupan seksualnya karena menjadi gangguan fungsi seksual, seperti hilangnya dorongan seksual, dispaurenia, dan vaginismus.
C. Perkosaan dalam perkawinan
Ada suatu bentuk perkosaan yang mungkin jumlahnya lebih banyak daripada perkosaan yang diberitakan oleh media massa, yaitu perkosaan yang dilakukan para suami terhadap istrinya. Suatu peristiwa yang menyedihkan dialami oleh banyak istri, tetapi tidak terungkap seperti peristiwa perkosaan yang dilakukan oleh pria bukan suami. Perkosaan yang dilakukan oleh suami, pada umumnya ditutup oleh korban yang tidak lain adalah istrinya sendiri karena dianggap sebagai urusan keluarga.
Banyak istri yang mengeluh mengalami rasa sakit di vagina akibat hubungan seksual yang dipaksakan oleh suaminya atau dengan kata lain mereka sedang tidak ingin melakukan hubungan seksual dengan alasan tertentu. Namun, sang suami tetap memaksa sambil marah. Dengan paksa, mereka melayani keinginan suami kalau tidak ingin menjadi tumpahan kemarahan, bahkan tamparan. Maka hubungan seksual berlangsung seperti dengan sebuah benda. Sang suami segera puas, tetapi sang istri kesakitan sampai berhari-hari :
· Beberapa akibat buruk yang mungkin terjadi dalam kehidupan seksual seorang perempuan yang mengalami perkosaan oleh suami antara lain:
1) Dorongan seksual lenyap
2) Dorongan seksual ada tapi reaksi seksual terhambat, sehingga merasa sakit setiap kali melakukan hubungan seksual.
3) Hambatan mencapai orgasme.
4) Mengalami vaginismus, yaitu kekejangan abnormal pada otot sekitar vagina sepertiga bagian luar, sehingga hubungan seksual tidak mungkin dilakukan.
Secara hipotesis hal ini disebabkan oleh faktor hormonal. Namun, yang lebih penting dari pengaruh hormonal adalah perbedaan sosialisasi anak perempuan dan laki-laki. Di hampir semua lingkungan budaya, perlaku agresif laki-laki lebih diterima bahkan diharapkan, daripada bila merupakan prilaku perempuan. Mengingat bahwa sosialisasi sangat berperan dalam prilaku agresif dan kekerasan seksual terhadap perempuan, maka anak laki-laki perlu memperoleh pendidikan tentang tanggung jawab terhadap kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi, dan menunjukkan respek terhadap anak peremupuan dan perempuan dewasa, dengan cara memperlakukan mereka setara.
Dalam konvensi wanita kekerasan perempuan didefinisikan sebagai berikut :
“Setiap tindakan kekerasan berbasis gender yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan fisik, seksual atau psikolois pada perempuan, termasuk di dalamnya ancaman, paksaan atau mengurangi secara semena-mena kebebasannya, baik itu terjadi di lingkup privat maupun di ruang public.”
Berdasarkan definisi tersebut, kekerasan terhadap perempuan mencakup antara lain:
a. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi di ruang lingkup domestic (keluarga), termasuk di dalamnya kekerasan seksual terhadap anak perempuan, marital rape, sunat perempuan yang digolongkan sebagai female genital mutilation, dan lain-lain kebiasaan tradisional yang berdampak negative pada kesehatan fisik, mental emosional dan sosial perempuan, dan bentuk kekerasan yang tergolong eksploitasi perempuan.
b. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi di dalam komunitas, seperti perkosaan, pelecehan seksual, intimidasi di lingkungan kerja, pendidikan dan tempat umum serta perdagangan perempuan dan prostitusi paksa.
c. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan oleh negara atau dibiarkan oleh negara, dimanapun hal tersebut terjadi.
Sejarah mana seorang istri menderita akibat perkosaan suami bergantung pada sikap atau kekerasan yang dilakukan oleh suami dan jangka waktu perkosaan berlangsung. Makin buruk sikap dan kekerasan yang dialami dan makin lama perkosaan itu berlangsung, makin buruk akibatnya.
Dari segi kesehatan reproduksi, perkosaan oleh suami dapat menyebabkan infeksi, yang kemudian diikuti dengan infertilitas atau sterlitas. Sementara itu, tekanan mental akan mengganggu keharmonisan suami istri.
2.5 Konsekuensi dan dampak yang dialami oleh korban kekerasan
Konsekuensi paling merugikan bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan adalah dampak terhadap kondisi kesehatan mentalnya. Dampak ini terutama menonjol pada perempuan korban kekerasan domestic dan korban kekerasan seksual. Hal itu karena kekerasan seksual menghancurkan integritas diri perempuan, sedangkan kekerasan domestik biasanya merupakan kejadian yang kronis dalam kehidupan rumah tangga seorang perempuan. Cedera fisik yang dialami korban memang dapat sembuh setelah diobati dan mungkin meninggalkan bekas fisiknya, tetapi cedera “psikis-mental” akan selalu dapat terbuka kembali setiap saat dan tanpa selalu dapat dikontrol oleh perempuan sebagai korban. Hal ini menyebabkan korban seksual cenderung untuk mengalami reviktiminasi berkali-kali.
Dampak kepada kesehatan mental korban kekerasan yang dikenal sebagai post traumatis syndrome, bisa bersifat serius dan dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti insomnia, depresi, berbagai bentuk psikosomatik, sakit perut yang kronis, sampai dengan keinginan untuk bunuh diri. Dampak psikologis yang paling sulit dipulihkan adalah hilangnya “basic trust”, dalam bentuk hilangnya kepercayaan kepada diri sendiri dan orang lain.
Kekerasan seksual berbasis gender dinyatakan sebagai endemik dan ditemukan di masyarakat maju, primitive, dan yang sedang berkembang.
2.6 Cara mencegah dan menanggulangi kekerasan pada wanita
Dalam menyikapi masalah kekerasan pada wanita, diperlukan kerjasama yang baik dari semua pihak, baik pria maupun wanita itu sendiri, tenaga medis seperti dokter, ahli gineologi, bidan dilakukan antara lain:
1. Melakukan upaya perbaikan secara menyeluruh, dimulai dengan penyempurnaan persepsi yang benar tentang masalah gender dan hak asasi perempuan dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Laki-laki terutama sejak dini (masih anak-anak) perlu memperoleh pendidikan tentang tanggung jawab terhadap kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi, sehingga ketika mereka mulai dewasa mereka mampu menunjukkan respek yang baik terhadap anak perempuan dan perempuan dewasa dengan cara emmperlakukan mereka setara dan selayaknya
3. Pemerintah perlu memberi prioritas dan bertindak tegas dalam emnangani kasus – kasus kekrasan terhadap perempuan sesuai dengan Deklarasi pengahpusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan ( yang telah ditandatangani pada tahun 1994 ), sehingga kasus – kasus tindakan kekerasan yang terjadi pada perempuan dapat ditanggulangi dan dicegah atau diantisipasi sedini mungkin
4. Pemerintah, masyarakat terutama para ahli yang memiliki profesi di bidang dostetri dan ginekologi selayaknya mampu memberikan bantuan dan dukungan kepada perempuan yang menjadi korban berbagai bentuk kekerasan, terutama korban kekerasan seksual sehingga pemulihan kesehatan terutama kesehatan mental perempuan yang menjadi korban kekerasan menunjukkan hasil dan kemajuan yang berarti
5. Tenaga kesehatan harus mampu memberikan penyuluhan, pendidikan dan pengertian yang benar tentang gender dan issue atau masalah seputar gender, kekrasan berbasis gender, kekerasan secara umum, kekerasan seksualitas, seksualitas dan ruang lingkupnya, sehingga masyarakat secara umum mulai dari remaja hingga dewasa dapat memahaminya dengan baik dan masalah – masalah yang terjadi seputar hal tersebut dapat diatasi dan dicegah sedini mungkin
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
kekerasan pada wanita (tindak kekerasan yang dialami oleh wanita) merupakan suatu masalah yang serius dan menimbulkan pro dan kontra dalam berbagaia spek kehidupan di masyarakat, dikatakan seius karena kasus – kasus kekerasan pada wanita mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dan dikatakan masih menimbulkan pro dan kontra karena meskipun Hak Asasi Perempuan telah dijadikan agenda pembahasan dalam konfrensi Dunia Internasional dan telah disepakati secara konsesnsus oleh Negara anggota PBB bahwa “ Hak Asasi Manusia adalah Universl” (ia melekat pada manusia, karena ia manusia) dan “Hak Asasi perempuan adalah Hak Asasi Manusia”, juga disepakati bahwa kekerasan terhadap perempuana dalah suatu bentuk pelanggaran HAM , namun pada kenyataannya tingkat diskriminasi dan kekerasan masih saja tetap terjadi dan dialami oleh seluruh wanita di dunia dan mengalami peningkatan yang tinggi setiap tahunnya.
Di suatu sisi kita berupaya untuk meningkatkan status dan Hak Asasi perempuan (khususnya dalam kesehatan refroduksi) serta berupaya untuk menegakkan keadilan dan kesetaraan gender. Namun disisi lain upaya 0 upaya tersebut terkadang berbenturan dengan norma, kebiasaan dan adat istiadat yang berlaku dalam kehidupan masyarakat kita, sehingga pada pelaksanaannya menimbulkan berbagai hambatan yang pada akhirnya menjerumuskan kita pada situasi yang jauh lebih sulit dan kompleks.
3.2 Saran
kita perlu bertindak netral dan bersikap bijak dalam menyikapi masalah kekerasan pada wanita, karena merupakan masalah yang sangat sensitive (terkait dengan gender dan ruang lingkupnya dapat menimbulkan pro dan kontra dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat) sehingga upaya – upaya yang dilakukan untuk meningkatkan status dan Hak Asasi perempuan serta upaya untuk menegakkan keadilan dan kesetaraan gender tidak berbenturan dan tetap memperhatikan norma, kebiasaan, adat istiadat dan budaya yang baik, termasuk didalamnya kehidupan beragama dan hukum – hukum atau peraturan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Martaadisoebraja; Prof.Dr. Djamhoer, MSPH, SpOG(k) dkk.2005. “Bunga Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial”. Jakarta : YAYASAN BINA PUSTAKA SARWONO PRAWIROHARDJO.
(http://groups.google.com/group/mahasiswas/browse_thread/thread/56d72079206e6da7/d2af2a9615d4afcd%23d2af2a9615d4afcd).
(http://www.lbh-apik.or.id/fact-60.htm). (http://www1.bpkpenabur.or.id/charles/orasi6a.htm)
3.1 Kekerasan pada anak
Jika ada ungkapan bahwa anak adalah titipan Tuhan yang harus dijaga tentunya ungkapan tersebut bukanlah ungkapan yang tanpa makna. Pada waktu dilahirkan anak memberikan kepercayaan sepenuhnya pada kedua orang tua untuk mengasuh dirinya. Anak tidak pernah berprasangka bahwa orang tua merekalah yang akan menghancurkan hidup mereka. Demikian juga harapan setiap anak terhadap orang dewasa lain disekitarnya. Mereka percaya 100% bahwa tidak ada seorang pun yang akan menyakiti dirinya. Alam menitipkan si mungil pada orang dewasa karena tidak seperti kebanyakan binatang manusia membutuhkan waktu yang lama untuk mandiri.
Namun jika kita menilik pemberitaan di berbagai media setiap harinya, hampir tak luput dari pemberitaan adanya kekerasan terhadap anak. Bukan lagi dikarenakan konteks wilayah antara kota dan desa lagi, tapi hampir merata terjadi di seluruh area.
Anak-anak korban kekerasan bukan saja menderita secara fisik tapi juga psikis.Rasa ketakutan yang terus membayangi adalah dampak dari kekerasan yang mereka terima. Mungkin jika itu sebatas kekerasan fisik masih dapat disembuhkan seiring waktu, namun jika itu masalah psikis maka trauma yang ditimbulkannya tak akan bias dihilangkan seumur hidup.
Secara yuridis formal, pemerintah telah memiliki Undang-Undang (UU) No 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak,
UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak, Keputusan Presiden No 36/1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak. Meski demikian, realitas kesejahteraan anak masih jauh dari harapan. persoalan kekerasan terhadap anak, baik yang dipekerjakan di sektor pekerjaan terburuk, diperdagangkan, maupun korban eksploitasi seksual. Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan, di Indonesia terdapat 4.201.452 anak (berusia di bawah 18 tahun) terlibat dalam pekerjaan berbahaya, lebih dari 1,5 juta orang di antaranya anak perempuan. Bahkan, data IPEC/ILO memperkirakan, terdapat 2,6 juta pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia dan sedikitnya 34,83 persen tergolong anak. Sekitar 93 persen anak perempuan (Kompas, 2/7/05). PRT anak perempuan berada dalam posisi rentan, mulai situasi kerja buruk, eksploitasi, hingga kekerasan seksual.
Mengamati fenomena yang semakin tidak ber’adab’ terhadap hak asasi manusia terutama hak perlindungan terhadap anak itulah, penulis mencoba untuk membahasnya lebih lanjut.
B. Deskripi Masalah
Untuk menangani permasalahan kekerasan terhadap anak yang sudah mulai menjangkiti dan menjadi penyakit di masyarakat ini, tentunya diperlukan pemahaman atas kekerasan terhadap anak itu sendiri. Berikut akan dijelaskan lebih lanjut tentang jenis kekerasan terhadap anak.
- Pengertian Kekerasan
Menurut WHO (WHO, 1999), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Kekuatan fisik dan kekuasaan harus dilihat dari segi pandang yang luas mencakup tindakan atau penyiksaan secara fisik, psikis/emosi, seksual dan kurang perhatian (neglected). (http://www1.bpkpenabur.or.id/charles/orasi6a.htm).
Kekerasan dalam arti lain juga bisa diartikan sebagai penggunaan kekuatan secara destruktif terhadap orang dan harta benda miliknya, seringkali terperangkap dalam mekanisme pendefinisian diri yang disebutkan di atas. Tentu saja, ada proses antara perbedaan sebagai basis identitas dan kelompok di satu pihak, dan kemunculan tindakan kekerasan di pihak lain. Seperti pernah dikatakan Johan Galtung, ada proses sosialisasi ketika kondisi-kondisi
kekerasan menjadi bagian dari pikiran, persepsi, dan sikap manusia.Sedangkan menurut PP Pengganti UU No.1 tahun 2002, Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.
Jenis-jenis kekerasan itu sendiri ada banyak macamnya, salah satunya yaitu kekerasan terhadap anak yang menjadi topik bahasan pada makalah ini.
Kekerasan terhadap anak merupakan fenomena kekerasan yang sering dilakukan oleh orang-orang terdekat anak tersebut. Hal ini sinkron dengan definisi kekerasan yang dilakukan oleh orang terdekat yaitu kekerasan dimana terdapat ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap mitra dekat (orang dekat)yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan kematian, trauma dan hal hal yang berbahaya. Tindakan yang dilakukan mencakup fisik, psikologis/emosional dan seksual yang dilakukan dalam hubungan kemitraan itu. Yang dimaksud dengan mitra adalah orang tua, saudara, suami atau istri, dating partner/pacar, bekas istri dan bekas pacar.
Selain itu kekerasan terhadap anak juga memiliki definisi lain, yaitu :
1) Kekerasan berupa serangan pada bagian tubuh
2) Kekerasan berupa komunikasi berisi penghinaan, malu dan takut
3) Kekerasan berupa tidak bertindak yang berakibat pada kegagalan tingkat kekerasan anak.
2. Jenis-jenis kekerasan pada anak
Terry E. Lawson, psikiater internasional yang merumuskan definisi tentang kekerasan terhadap anak, menyebut ada empat macam abuse, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse.( http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/012006/15/hikmah/utama01.htm)
Kekerasan pada anak bukan hanya berupa deraan fisik saja, tapi juga hal lain yang dapat melukai anak, adapun jenisnya antara lain :
(a) Physical Abuse
Physical abuse, terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Pukulan akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Kekerasan yang dilakukan seseorang berupa melukai bagian tubuh anak
(b) Emotional Abuse
Emotional abuse terjadi ketika orang tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Orang tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terus-menerus melakukan hal sama sepanjang kehidupan anak itu
Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang melecehkan anak. Pelaku biasanya melakukan tindakan Mental Abuse, menyalahkan, melabeli, atau juga mengkambing hitamkan.
(c) Neglect / Pengabaian
Pengabaian di sini dalam artian anak tidak mendapatkan perlindungan ataupun perhatian dari orang-orang terdekat maupun orang di lingkungan sekitarnya. Pengabaian bisa terjadi baik sengaja maupun tidak sengaja.
Pengabaian itu sendiri bisa berupa pengabaian secara :
- fisik – edukasi
- kesehatan – psikologis
(d) Seksual
Dalam pasal 8 dijelaskan bahwa kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut (seperti istri, anak dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya, dalam penjelasan pasal 8 huruf a UU PKDRT di jelaskan bahwa kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu.
Mengenai hukuman bagi pelaku, ditegaskan dalam pasal 46 UU PKDRT ini yang menyatakan para pelaku pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga diancam hukuman pidana yakni pidana penjara paling lama 12 (dua belas tahun) atau denda paling banyak Rp 36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah) (e) Komersialisasi
Mengenai hukuman bagi pelaku, ditegaskan dalam pasal 46 UU PKDRT ini yang menyatakan para pelaku pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga diancam hukuman pidana yakni pidana penjara paling lama 12 (dua belas tahun) atau denda paling banyak Rp 36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah) (e) Komersialisasi
Kekerasan tipe ini merupakan kekerasan dimana adanya unsure. pengambilan keuntungan materi secara sepihak oleh pelaku kekerasan terhadap korban baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
Komersialisasi itu bisa berupa :
1) Perlakuan menjadi buruh anak , contoh : menjadi buruh pabrik, PRT, Jermal
2) Prostitusi3) Perdagangan
3. Faktor-faktor yang menyebabkan kekerasan terhadap anak
Beberapa faktor pencetus terjadinya kekerasan ialah :
a) Faktor masyarakat: 1) Kemiskinan, 2) Urbanisasi yang terjadi disertainya kesenjangan pendapatan diantara penduduk kota 3) Masyarakat keluarga ketergantungan obat 4) Lingkungan dengan frekwensi kekerasan dan kriminalitas tinggi.
b) Faktor keluarga: 1) Adanya anggota keluarga yang sakit yang membutuhkan bantuan terus menerus seperti misalnya anak dengan kelainan mental, orang tua, 2) Kehidupan keluarga yang kacau tidak saling mencinta dan menghargai, serta tidak menghargai , 3) kurang ada keakraban dan hubungan jaringan sosial pada keluarga, 4) Sifat kehidupan keluarga inti bukan keluarga luas 4. Dampak kekerasan terhadap anak
Banyak peneliti membuktikan, pelaku kekerasan mempunyai masa lalu yang sarat dengan kekerasan. Akibatnya, terjadi proses peniruan dari peristiwa yang dilihat dan dialaminya, atau ada rasa ingin balas dendam dari apa yang dialaminya dengan mengulangi peristiwa tersebut, dan kali ini sasarannya adalah istri dan anak-anaknya. Bila dalam satu keluarga ayah dan ibu pernah mengalami kekerasan pada waktu mudanya, kemungkinan mereka melakukan tindak kekerasan terhadap anak mereka sebesar 50%. Bila yang mengalami kekerasan waktu muda tersebut ayah atau ibunya saja, maka risikonya sebesar 32%. Perilaku kekerasan juga dipengaruhi oleh kepribadian seseorang: paranoid, narsistik, dan pasif - agresif memiliki kecenderungan untuk memiliki perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan juga dipengaruhi oleh gangguan kejiwaan yang dialami pada masa anak dan psikopatologi yang dimiliki orang tuanya. Dari penelitian yang dilakukan oleh LSM yang bergerak di bidang kekerasan dalam keluarga, dari 165 kasus yang ditangani memperlihatkan dampak kepada korban, antara lain:
- Gangguan kejiwaan (73,94%) termasuk kecemasan, rasa rendah diri, fobia dan depresi.
- Gangguan fisik (50,30%) berupa cedera, gangguan fungsional, dan cacat permanen.
- Gangguan kesehatan reproduksi (4,85%), termasuk kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi menular seksual, dan abortus.
- Gangguan fisik (50,30%) berupa cedera, gangguan fungsional, dan cacat permanen.
- Gangguan kesehatan reproduksi (4,85%), termasuk kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi menular seksual, dan abortus.
Anak yang mengalami atau menyaksikan peristiwa kekerasan dalam keluarga dapat menderita post traumatic stress disorder (stres pascatrauma), yang dapat tampil dalam bentuk sebagai gangguan tidur, sulit memusatkan perhatian, keluhan psikosomatik (sakit kepala atau sakit perut). Anak juga akan mengalami frustrasi yang dapat membuatnya berusaha mencari pelarian yang negatif seperti melalui alkohol atau penggunaan napza.
5. Kekerasan terhadap anak di Indonesia
Berdasarkan penelitian yang didukung oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Masalah Anak (Unicef), masih banyak anak-anak di Indonesia yang mendapatkan perlakuan buruk.
Survei yang dilakukan pada 2002 melibatkan 125 anak dan berlangsung selama enam bulan. Survei itu meliputi wawancara yang diawasi dengan sangat teliti. Dari survei itu terungkap, dua per tiga anak laki-laki dan sepertiga anak perempuan pernah dipukul. Lebih dari seperempat anak perempuan dalam survei itu mengalami perkosaan
Survei yang jauh lebih luas dilakukan pada 2003 dan melibatkan sekitar 1.700 anak. Dari survei itu terungkap, sebagian besar anak mengaku pernah ditampar, dipukul, atau dilempar dengan benda. Namun, tidak ada bukti telah terjadi pemerkosaan
Pada awal 2006, temuan penelitian mendalam mengenai kekerasan terhadap anak di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara menunjukkan, tindak kekerasan di sekolah melibatkan kekerasan terhadap fisik dan mental
Di Jawa Tengah, sebanyak 80 persen guru mengaku pernah menghukum anak-anak dengan berteriak pada mereka di depan kelas. Sebanyak 55 persen guru mengaku pernah menyuruh murid mereka berdiri di depan kelas
Di Sulawesi Selatan, sebanyak 90 persen guru mengaku pernah menyuruh murid berdiri di depan kelas, diikuti oleh 73 persen pernah berteriak kepada murid, dan 54 persen pernah menyuruh murid untuk membersihkan atau mengelap toilet
Sementara itu, di Sumatera Utara, lebih dari 90 persen guru mengaku pernah menyuruh murid mereka berdiri di depan kelas, dan 80 persen pernah berteriak pada murid.
Kesimpulannya bahwa kekerasan terhadap anak di Indonesia kini mulai semakin kronis hal ini terlihat dari makin banyaknya pelaku tindak kekerasan dan korbannya. Tentunya jika hal ini tidak segera tertangani dengan baik maka akan menjadi sebuah problem sosial yang semakin sulit penanganannya. Sehingga perlu penanganan dan perhatian yang serius dari berbagai pihak .
Adapun analisis perilaku korupsi di Indonesia ditinjau dari teori psikologi sosial yaitu Hanurawan, Fattah, (2004) :
1. Teori belajar social
Perspektif teori belajar sosial memandang perilaku manusia sebagai hasil dari saling interaksi antara pengaruh situasi, perilaku individu, serta kognisi an emosi individu.
Menurut Albert Bandura (dalam Baron dan Byrne, 1997), mengemukakan bahwa perilaku individu dipelajari dengan melakukannya dan secara langsung mengalami konsekuensi-konsekuensinya. Proses pembelajaran akan semakin dikuatkan apabila kita secara sadar memahami konsekuensi-konsekuensi dari suatu peilaku. Selain itu individu juga mempelajari perilaku baru melalui pengamatan dan observasi.
Kekerasan terhadap anak merupakan hasil aplikasi dari teori belajar social dimana jika pelaku kekerasan sebelumnya pernah mengalami tindakan kekerasan yang serupa maka akan ada kemungkinan akan melakukan hal yang sama pula pada orang lain, termasuk orang-orang terdekatnya misalnya anak atau istri.
Menurut analisis teori Bandura proses pembelajaran tentang perilaku kekerasan akan semakin dikuatkan apabila kita sadar dan memahami keuntungan-keuntungan yang didapat dari perilaku kekerasan tersebut, misalnya saja ini terjadi pada kekerasan berupa komersialisasi anak Dimana keuntungan akan diperoleh orang dewasa yang memanfaatkan potensi anak tersebut.
D. Pemecahan Masalah
Kekerasan terhadap anak yang mulai menjangkiti masyarakat ini sudah selayaknyalah jika mendapat penanganan yang lebih baik dan serius dari pihak-pihak yang terkait baik itu pemerintah maupun masyarakat. Penulis di sini akan memberikan beberapa alternatif saran untuk memecahkan masalah kekerasan terhadap anak yang sudah mulai kronis ini, yaitu ;
(1) Sosialisasi yang lebih gencar lagi dari pemerintah tentang pentingnya untuk segera melaporkan apabila terjadi tindak kekerasan. Hal ini mungkin tidak dilakukan oleh korban sendiri yang notabene masih anak-anak tapi bisa dilakukan oleh orang-orang dewasa di sekitarnya, baik yang memiliki hubungan darah maupun orang lain di sekitarnya. Jadi bagaimana pemerintah mengemas publikasi untuk penanganan korban kekerasan sesegera mungkin dan pemerintah juga harus lebih memudahkan prosedur bantuannya
(2) Hendaknya lembaga-lembaga baik pemerintahan maupun LSM atau organisasi yang bergerak di bidang penanganan korban kekerasan ini memperhatikan aspek psikologis pelaku maupun korban ketika proses menjalani bantuan pemecahan masalah agar tidak semakin membebani
(3) Hendaknya mulai ditanamkan kesadaran di masyarakat bahwa anak bukanlah milik orang tua atau kerabat saja yang bisa diperlakukan sesukanya tapi sebagai suatu tanggung jawab yang harus dijaga dan dilindungi
(4)Terjadinya kerjasama semua pihak, semua pihak mulai berempati danmenunjukkan kepeduliannya terhadap anak berupa perlindungan dan peningkatan kesejahteraan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar