Bab
1
Asuhan
Keperawatan Klien dengan
Penyalahgunaan dan Ketergantungan Narkoba (NAPZA)
|
Indonesia. Peredaran
NAPZA sudah sangat mengkhawatirkan
sehingga cepat atau lambat penyalahgunaan
NAPZA akan menghancurkan
generasi bangsa atau disebut dengan lost
generation (Joewana,
2005).
Faktor individu yang tampak lebih pada kepribadian
individu tersebut; faktor keluarga lebih pada hubungan
individu dengan keluarga
misalnya kurang perhatian keluarga terhadap individu, kesibukan
keluarga dan lainnya; faktor
lingkungan lebih pada kurang positifnya sikap masyarakat
terhadap masalah tersebut misalnya ketidakpedulian
masyarakat tentang NAPZA (Hawari, 2003).
Dampak yang terjadi dari faktor-faktor
di atas adalah individu mulai melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan akan zat. Hal ini ditunjukkan
dengan makin banyaknya
individu yang dirawat di rumah
sakit karena penyalahgunaan
dan ketergantungan zat yaitu mengalami
intoksikasi zat dan withdrawal.
Peran penting tenaga kesehatan dalam upaya menanggulangi penyalahgunaan dan
ketergantungan NAPZA di rumah sakit khususnya
upaya terapi dan rehabilitasi sering tidak disadari, kecuali mereka yang
berminat pada penanggulangan NAPZA (DepKes,
2001).
Berdasarkan permasalahan yang terjadi di atas, maka
perlunya peran serta tenaga kesehatan
khususnya tenaga keperawatan
dalam membantu masyarakat yang sedang dirawat di rumah
sakit untuk meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan masyarakat tentang perawatan dan pencegahan kembali penyalahgunaan
NAPZA pada klien. Untuk itu
dirasakan perlu perawat meningkatkan
kemampuan merawat klien dengan menggunakan pendekatan proses
keperawatan
yaitu asuhan
keperawatan klien penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA (sindroma putus zat).
A. Pengertian Penyalahgunaan Zat
Penyalahgunaan
zat adalah penggunaan zat secara terus menerus
bahkan sampai setelah
terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi
yang parah dan sering dianggap
sebagai penyakit. Adiksi umumnya
merujuk pada perilaku psikososial yang berhubungan dengan ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi adalah peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan.
Gejala putus zat dan toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart
& Sundeen, 1998).
B. Rentang Respons Gangguan Penggunaan
NAPZA
Rentang
respons
ganguan
pengunaan
NAPZA ini berfluktuasi dari kondisi yang ringan sampai yang berat,
indikator ini berdasarkan perilaku yang ditunjukkan oleh pengguna NAPZA.

|

Penyalahgunaan
Ketergantungan
(Sumber: Yosep, 2007)
Eksperimental: Kondisi pengguna taraf awal, yang disebabkan rasa ingin
tahu dari remaja. Sesuai kebutuan pada masa tumbuh kembangnya, klien
biasanya ingin mencari pengalaman yang baru atau sering
dikatakan taraf coba-coba.
Rekreasional: Penggunaan zat adiktif pada waktu berkumpul dengan teman sebaya, misalnya pada waktu pertemuan
malam mingguan, acara ulang tahun. Penggunaan
ini mempunyai tujuan rekreasi bersama teman-
temannya.
Situasional: Mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan
kebutuhan bagi dirinya sendiri.
Seringkali penggunaan ini
merupakan cara untuk
melarikan diri atau mengatasi
masalah yang
dihadapi.
Misalnya individu menggunakan zat pada saat sedang mempunyai masalah, stres, dan frustasi.
Penyalahgunaan: Penggunaan zat yang sudah cukup patologis, sudah
mulai digunakan secara rutin, minimal selama 1 bulan, sudah terjadi penyimpangan
perilaku mengganggu fungsi dalam peran di lingkungan
sosial, pendidikan, dan pekerjaan.
Ketergantungan: Penggunaan
zat yang sudah cukup berat, telah terjadi
ketergantungan fisik dan psikologis.
Ketergantungan fisik ditandai dengan adanya toleransi
dan sindroma putus zat (suatu kondisi dimana
individu yang biasa menggunakan
zat adiktif secara
rutin pada dosis tertentu menurunkan
jumlah zat yang digunakan
atau berhenti memakai,
sehingga menimbulkan kumpulan gejala sesuai dengan macam zat yang digunakan. Sedangkan toleransi adalah suatu kondisi dari individu yang mengalami peningkatan dosis (jumlah zat), untuk mencapai
tujuan yang biasa diinginkannya.
C. Jenis-Jenis NAPZA
NAPZA
dapat dibagi ke dalam beberapa golongan
yaitu:
1. Narkotika
Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis
maupun sintetis yang
dapat menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi hilang
rasa
atau
nyeri dan perubahan kesadaran yang
menimbulkan ketergantungna akan zat tersebut secara terus menerus.
Contoh narkotika yang
terkenal adalah seperti ganja,
heroin, kokain, morfin, amfetamin, dan lain-lain. Narkotika menurut
UU No. 22 tahun
1997 adalah
zat atau obat berbahaya yang berasal
dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis
yang dapat menyebabkan
penurunan maupun perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri dan dapat menimbulkan
ketergantungan (Wresniwiro dkk. 1999).
Golongan narkotika berdasarkan bahan pembuatannya
adalah:
1)
Narkotika alami
yaitu zat dan
obat
yang langsung
dapat
dipakai
sebagai narkotik tanpa perlu adanya
proses fermentasi, isolasi dan
proses lainnya terlebih dahulu karena bisa langsung dipakai dengan sedikit proses sederhana.
Bahan alami tersebut umumnya tidak boleh
digunakan untuk terapi pengobatan
secara langsung karena terlalu
berisiko. Contoh narkotika
alami yaitu seperti ganja dan daun koka.
2) Narkotika sintetis
adalah jenis narkotika yang memerlukan
proses yang bersifat
sintesis untuk keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang rasa sakit/analgesik. Contohnya yaitu seperti amfetamin, metadon, dekstropropakasifen, deksamfetamin, dan sebagainya.
Narkotika sintetis dapat menimbulkan
dampak sebagai berikut:
a. Depresan = membuat pemakai tertidur
atau tidak sadarkan
diri. b. Stimulan = membuat pemakai bersemangat dalam beraktivitas
kerja dan merasa badan lebih segar.
c. Halusinogen = dapat membuat si pemakai jadi berhalusinasi yang mengubah perasaan
serta pikiran.
3) Narkotika semi sintetis
yaitu zat/obat yang diproduksi dengan cara isolasi, ekstraksi, dan lain sebagainya seperti
heroin, morfin, kodein, dan lain-lain.
2. Psikotropika
Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002, psikotropika adalah zat atau obat, baik sintesis
maupun semisintesis yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif
pada
susunan
saraf
pusat
yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku. Zat
yang tergolong dalam psikotropika
(Hawari, 2006) adalah: stimulansia yang membuat pusat
syaraf menjadi sangat aktif karena merangsang
syaraf simpatis. Termasuk dalam golongan stimulan adalah amphetamine, ektasy
(metamfetamin), dan
fenfluramin. Amphetamine
sering disebut dengan speed, shabu-shabu, whiz, dan sulph. Golongan stimulan lainnya adalah halusinogen yang dapat mengubah perasaan
dan pikiran sehingga perasaan dapat
terganggu. Sedative
dan
hipnotika seperti barbiturat dan benzodiazepine merupakan golongan
stimulan yang
dapat mengakibatkan rusaknya daya ingat dan kesadaran, ketergantungan secara fisik dan psikologis bila digunakan dalam waktu lama.
3. Zat Adiktif Lainnya
Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, dan biologi
dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan
kesehatan lingkungan hidup secara langsung
dan tidak langsung
yang mempunyai
sifat karsinogenik, teratogenik, mutagenik,
korosif, dan iritasi.
Bahan-
bahan berbahaya
ini adalah zat adiktif yang bukan termasuk ke dalam
narkotika dan psikoropika, tetapi mempunyai pengaruh dan efek merusak
fisik seseorang jika disalahgunakan (Wresniwiro dkk. 1999). Adapun
yang
termasuk zat adiktif ini antara lain: minuman
keras (minuman beralkohol) yang meliputi minuman keras golongan A (kadar ethanol 1% sampai 5%) seperti bir, green sand; minuman keras golongan B
(kadar ethanol lebih dari 5% sampai 20%) seperti anggur malaga; dan minuman
keras golongan
C (kadar ethanol lebih dari 20% sampai 55%) seperti brandy, wine, whisky. Zat dalam alkohol dapat mengganggu aktivitas sehari-hari bila kadarnya dalam darah mencapai
0,5% dan hampir semua
akan mengalami gangguan koordinasi
bila kadarnya dalam darah 0,10% (Marviana dkk. 2000). Zat adiktif lainnya adalah nikotin, votaile, dan
solvent/inhalasia.

Harboenangin
(dikutip dari Yatim, 1986) mengemukakan
ada beberapa faktor yang
menyebabkan
seseorang menjadi
pecandu
narkoba yaitu
faktor eksternal dan faktor internal.
1. Faktor
Internal
a. Faktor Kepribadian
Kepribadian seseorang turut berperan
dalam perilaku ini. Hal ini lebih
cenderung terjadi pada usia remaja. Remaja yang menjadi pecandu biasanya memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah. Perkembangan emosi yang terhambat, dengan ditandai oleh ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah
cemas, pasif, agresif, dan cenderung depresi, juga turut mempengaruhi. Selain itu, kemampuan untuk memecahkan
masalah secara adekuat berpengaruh terhadap bagaimana ia mudah mencari pemecahan masalah dengan cara melarikan diri.
b. Inteligensia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inteligensia pecandu
yang datang untuk melakukan
konseling di klinik rehabilitasi pada umumnya berada pada taraf di bawah rata-rata dari kelompok usianya.
c. Usia
Mayoritas
pecandu narkoba adalah remaja. Alasan remaja menggunakan
narkoba karena kondisi
sosial, psikologis yang membutuhkan pengakuan, dan identitas dan kelabilan emosi; sementara pada usia yang lebih tua,
narkoba digunakan sebagai
obat penenang.
d. Dorongan
Kenikmatan dan Perasaan Ingin Tahu
Narkoba
dapat
memberikan kenikmatan yang
unik
dan
tersendiri.
Mulanya merasa enak yang diperoleh dari coba-coba dan ingin tahu atau ingin merasakan seperti
yang diceritakan oleh teman-teman sebayanya.
Lama
kelamaan akan menjadi
satu kebutuhan yang utama.
e. Pemecahan Masalah
Pada umumnya para pecandu
narkoba
menggunakan narkoba
untuk
menyelesaikan persoalan. Hal ini disebabkan
karena pengaruh narkoba
dapat menurunkan tingkat kesadaran dan
membuatnya
lupa pada
permasalahan
yang ada.
2. Faktor Eksternal
a. Keluarga
Keluarga merupakan
faktor
yang paling
sering
menjadi penyebab
seseorang menjadi pengguna narkoba.
Berdasarkan hasil penelitian tim
UKM Atma Jaya dan Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta
pada tahun
1995, terdapat beberapa tipe keluarga
yang berisiko
tinggi
anggota
keluarganya terlibat penyalahgunaan narkoba, yaitu:
1) Keluarga yang memiliki riwayat (termasuk
orang tua) mengalami ketergantungan narkoba.
2) Keluarga dengan
manajemen yang
kacau,
yang terlihat dari pelaksanaan aturan
yang tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibu
(misalnya ayah bilang ya, ibu bilang
tidak).
3) Keluarga
dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya penyelesaian
yang memuaskan semua pihak yang
berkonflik.
Konflik dapat terjadi antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan
anak, maupun antar saudara.
4) Keluarga
dengan orang tua yang otoriter. Dalam
hal ini, peran orang tua sangat dominan,
dengan anak yang hanya sekedar
harus menuruti apa kata orang tua dengan alasan
sopan santun, adat
istiadat, atau demi kemajuan dan masa depan anak itu sendiri –
tanpa diberi
kesempatan
untuk
berdialog dan
menyatakan ketidaksetujuannya.
5) Keluarga
yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut
anggotanya mencapai
kesempurnaan dengan
standar tinggi yang harus
dicapai dalam banyak hal.
6) Keluarga
yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan
dengan alasan yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, sering
berlebihan dalam menanggapi sesuatu.
b. Faktor
Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)
Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan
tekanan kelompok, yaitu cara
teman-teman atau orang-orang seumur untuk mempengaruhi
seseorang agar berperilaku seperti
kelompok itu. Peer group terlibat
lebih
banyak dalam delinquent dan
penggunaan obat-obatan. Dapat dikatakan bahwa faktor-faktor sosial tersebut
memiliki dampak yang berarti kepada
keasyikan seseorang
dalam menggunakan obat-obatan, yang kemudian mengakibatkan timbulnya ketergantungan fisik dan psikologis.
Sinaga (2007) melaporkan bahwa faktor penyebab penyalahgunaan NAPZA pada remaja adalah teman sebaya (78,1%). Hal ini menunjukkan
betapa besarnya pengaruh teman kelompoknya sehingga remaja
menggunakan narkoba. Hasil penelitian ini relevan dengan studi yang dilakukan oleh Hawari (1990) yang memperlihatkan
bahwa teman kelompok yang menyebabkan remaja memakai NAPZA mulai dari tahap coba-coba sampai ketagihan.
c. Faktor Kesempatan
Ketersediaan narkoba
dan kemudahan memperolehnya juga
dapat disebut sebagai pemicu
seseorang menjadi pecandu. Indonesia
yang sudah
menjadi tujuan
pasar narkoba internasional, menyebabkan obat-obatan ini mudah
diperoleh. Bahkan beberapa media massa melaporkan
bahwa para penjual narkotika
menjual barang dagangannya di sekolah-sekolah,
termasuk di Sekolah
Dasar. Pengalaman feel good saat mencoba
drugs
akan semakin memperkuat
keinginan untuk memanfaatkan kesempatan dan akhirnya menjadi
pecandu. Seseorang dapat menjadi pecandu karena
disebabkan oleh beberapa faktor
sekaligus atau secara bersamaan. Karena ada juga faktor yang muncul secara beruntun
akibat dari satu faktor
tertentu.
E. Tanda dan Gejala
Pengaruh NAPZA pada tubuh disebut intoksikasi. Selain intoksikasi, ada juga sindroma putus zat
yaitu
sekumpulan gejala
yang timbul akibat penggunaan
zat yang dikurangi atau dihentikan. Tanda dan gejala intoksikasi dan putus zat berbeda pada jenis zat yang berbeda.
Tabel 1. Tanda dan Gejala Intoksikasi
Opiat
|
Ganja
|
Sedatif-Hipnotik
|
Alkohol
|
amfetamine
|
* eforia
* mengantuk
* bicara cadel
* konstipasi
* penurunan
kesadaran
|
* eforia
* mata merah
* mulut kering
*
banyak bicara dan tertawa
*
nafsu makan meningkat
* gangguan
persepsi
|
* pengendalian
diri berkurang
* jalan sempoyongan
* mengantuk
* memperpanjang
tidur
*
hilang kesadaran
|
* mata merah
*
bicara cadel
* jalan sempoyongan
* perubahan
persepsi
* penurunan
kemampuan menilai
|
* selalu
terdorong untuk
bergerak
* berkeringat
* gemetar
* cemas
* depresi
* paranoid
|
Tabel 2. Tanda dan Gejala Putus Zat
Opiat
|
Ganja
|
Sedatif-Hipnotik
|
Alkohol
|
amfetamine
|
* nyeri
* mata dan hidung berair
* perasaan
panas dingin
* diare
* gelisah
*
tidak bisa tidur
|
* jarang
ditemukan
|
* cemas
* tangan gemetar
* perubahan
persepsi
* gangguan
daya
ingat
* tidak bisa tidur
|
* cemas
* depresi
* muka merah
* mudah marah
* tangan gemetar
* mual muntah
* tidak bisa tidur
|
* cemas
* depresi
* kelelahan
* energi berkurang
* kebutuhan tidur meningkat
|
F. Dampak
Penyalahgunaan NAPZA
Martono (2006) menjelaskan bahwa penyalahgunaan NAPZA mempunyai dampak yang sangat luas bagi pemakainya
(diri sendiri), keluarga, pihak sekolah (pendidikan), serta
masyarakat, bangsa,
dan negara.
Bagi diri sendiri. Penyalahgunaan NAPZA dapat mengakibatkan
terganggunya fungsi otak dan perkembangan moral pemakainya, intoksikasi (keracunan), overdosis (OD), yang dapat menyebabkan kematian karena terhentinya pernapasan dan perdarahan otak,
kekambuhan, gangguan perilaku
(mental sosial), gangguan
kesehatan, menurunnya nilai-nilai, dan masalah ekonomi dan hukum. Sementara itu, dari segi efek dan dampak yang ditimbulkan pada para pemakai narkoba dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan/jenis: 1) Upper yaitu jenis narkoba yang membuat
si
pemakai
menjadi
aktif
seperti
sabu-sabu,
ekstasi dan amfetamin, 2) Downer yang merupakan
golongan narkoba yang dapat membuat
orang yang memakai jenis narkoba itu jadi tenang
dengan sifatnya yang menenangkan/sedatif
seperti obat tidur (hipnotik) dan obat anti rasa cemas, dan 3) Halusinogen adalah napza yang beracun karena lebih menonjol
sifat racunnya dibandingkan dengan
kegunaan medis.
Bagi keluarga. Penyalahgunaan NAPZA dalam keluarga dapat mengakibatkan suasana nyaman dan tentram dalam keluarga terganggu. Dimana orang tua
akan
merasa malu
karena memilki anak pecandu, merasa bersalah, dan berusaha menutupi
perbuatan anak mereka. Stres keluarga meningkat, merasa
putus
asa
karena
pengeluaran yang
meningkat akibat pemakaian narkoba ataupun melihat anak yang harus berulangkali dirawat atau bahkan menjadi penghuni di rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan.
Bagi pendidikan
atau sekolah. NAPZA akan merusak disiplin dan
motivasi
yang
sangat
tinggi untuk
proses belajar. Penyalahgunaan
NAPZA berhubungan dengan kejahatan dan perilaku asosial lain yang menganggu suasana tertib dan aman, rusaknya barang-barang sekolah dan meningkatnya perkelahian.
Bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Penyalahgunaan
NAPZA mengakibatkan terciptanya hubungan pengedar narkoba dengan
korbannya sehingga terbentuk pasar gelap perdagangan NAPZA yang sangat sulit diputuskan mata rantainya. Masyarakat
yang rawan narkoba tidak memiliki daya tahan dan kesinambungan pembangunan
terancam.
Akibatnya negara mengalami kerugian karena masyarakatnya
tidak produktif, kejahatan meningkat
serta sarana dan prasarana yang harus
disediakan untuk mengatasi masalah
tersebut.
G. Penanggulangan Masalah NAPZA
Penanggulangan masalah NAPZA dilakukan
mulai dari pencegahan, pengobatan sampai pemulihan (rehabilitasi).
1) Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan, misalnya dengan:
a) Memberikan informasi
dan
pendidikan yang
efektif tentang
NAPZA
b) Deteksi dini perubahan perilaku
c) Menolak tegas untuk mencoba
(“Say no to drugs”) atau “Katakan tidak pada narkoba”
2) Pengobatan
Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi.
Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi
atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara yaitu:
a) Detoksifikasi tanpa subsitusi
Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang mengalami gajala putus
zat tidak
diberi obat untuk menghilangkan gejala putus zat tersebut. Klien hanya dibiarkan
saja sampai gejala putus
zat tersebut berhenti
sendiri.
b) Detoksifikasi dengan substitusi
Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan
jenis opiat misalnya kodein,
bufremorfin, dan metadon.
Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya
diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan cara penurunan dosis secara
bertahap
sampai berhenti
sama
sekali. Selama pemberian substitusi dapat juga diberikan obat yang menghilangkan gejala simptomatik, misalnya obat
penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur atau sesuai
dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus zat
tersebut.
3) Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya
kesehatan yang dilakukan secara
utuh dan terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar
pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya
pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga
kesehatan sesuai dengan
kebutuhan (Depkes,
2001).
Sesudah klien penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA menjalani
program terapi (detoksifikasi) dan
konsultasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan
(pascadetoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan
dapat melanjutkan ke program
berikutnya
yaitu rehabilitasi (Hawari,
2003).
Lama rawat
di unit
rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena tergantung pada jumlah dan kemampuan sumber daya, fasilitas,
dan sarana penunjang kegiatan yang tersedia di rumah sakit. Menurut Hawari (2003), bahwa setelah klien mengalami perawatan
selama 1 minggu menjalani program terapi dan dilanjutkan dengan pemantapan terapi selama 2 minggu maka klien tersebut
akan dirawat di unit rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi,
dan unit lainnya) selama 3-6
bulan. Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan parameter sembuh menurut medis bisa beragam
6 bulan dan 1 tahun, mungkin saja bisa
sampai 2 tahun..
Berdasarkan pengertian dan lama rawat di atas, maka perawatan
di ruang rehabilitasi tidak terlepas dari perawatan
sebelumnya yaitu di ruang
detoksifikasi. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada bagan di bawah ini
(bagan 1).
Bagan 1. Alur Perawatan
Klien di Rumah Sakit
Klien datang 1 2 3 4


Perawatan
rehabilitasi
(ruang rehabilitasi)
Kenyataan menunjukkan bahwa mereka
yang telah selesai menjalani detoksifikasi
sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan
NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving)
terhadap NAPZA yang selalu
terjadi (DepKes, 2001).
Dengan
rehabilitasi diharapkan pengguna
NAPZA dapat:
1.
Mempunyai motivasi
kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi
2. Mampu menolak
tawaran penyalahgunaan NAPZA
3. Pulih kepercayaan dirinya, hilang
rasa rendah dirinya
4.
Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku
sehari-hari dengan baik
5.
Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja
6. Dapat diterima
dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan lingkungannya.
Jenis program
rehabilitasi:
a) Rehabilitasi psikososial
Program rehabilitasi psikososial merupakan
persiapan untuk kembali ke
masyarakat (reentry program). Oleh karena itu, klien perlu dilengkapi
dengan pengetahuan dan keterampilan misalnya dengan berbagai kursus atau balai latihan kerja
di pusat-pusat rehabilitasi. Dengan
demikian diharapkan bila klien selesai menjalani program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali sekolah/kuliah atau bekerja.
b) Rehabilitasi kejiwaan
Dengan
menjalani rehabilitasi diharapkan agar klien
rehabilitasi yang semua berperilaku
maladaptif berubah menjadi adaptif atau dengan kata lain
sikap dan tindakan
antisosial dapat dihilangkan,
sehingga mereka dapat bersosialisasi
dengan sesama rekannya maupun personil yang
membimbing dan mengasuhnya. Meskipun klien telah menjalani terapi detoksifikasi, seringkali perilaku maladaptif tadi belum hilang, keinginan untuk menggunakan NAPZA kembali atau craving masih
sering muncul, juga keluhan lain seperti kecemasan
dan
depresi serta tidak dapat tidur
(insomnia) merupakan keluhan yang sering disampaikan ketika melakukan konsultasi dengan psikiater. Oleh karena itu, terapi
psikofarmaka masih dapat dilanjutkan, dengan catatan jenis obat
psikofarmaka yang diberikan tidak bersifat adiktif (menimbulkan ketagihan) dan tidak menimbulkan ketergantungan. Dalam rehabilitasi kejiwaan ini yang penting adalah psikoterapi
baik secara individual maupun secara kelompok. Untuk mencapai tujuan psikoterapi,
waktu 2 minggu (program pascadetoksifikasi) memang tidak cukup; oleh karena
itu, perlu dilanjutkan dalam rentang waktu 3 – 6 bulan (program rehabilitasi). Dengan
demikian dapat dilaksanakan bentuk psikoterapi yang tepat bagi masing-masing klien rehabilitasi. Yang termasuk
rehabilitasi kejiwaan ini adalah
psikoterapi/konsultasi
keluarga yang
dapat dianggap sebagai rehabilitasi
keluarga terutama keluarga
broken home. Gerber (1983 dikutip dari Hawari, 2003) menyatakan bahwa konsultasi keluarga perlu dilakukan agar keluarga dapat memahami
aspek-aspek kepribadian anaknya yang mengalami penyalahgunaan NAPZA.
c) Rehabilitasi komunitas
Berupa
program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam
satu tempat. Dipimpin oleh mantan pemakai yang dinyatakan
memenuhi
syarat sebagai koselor, setelah mengikuti pendidikan
dan pelatihan. Tenaga profesional
hanya sebagai konsultan
saja. Di sini klien dilatih keterampilan mengelola
waktu dan perilakunya secara efektif dalam
kehidupannya sehari-hari, sehingga dapat mengatasi keinginan
mengunakan narkoba
lagi atau nagih (craving) dan mencegah
relaps.
Dalam program ini semua klien ikut aktif dalam proses terapi. Mereka
bebas menyatakan perasaan dan perilaku sejauh tidak membahayakan orang
lain. Tiap anggota bertanggung
jawab terhadap perbuatannya, penghargaan bagi yang berperilaku
positif dan hukuman bagi yang berperilaku negatif diatur
oleh mereka sendiri.
d) Rehabilitasi keagamaan
Rehabilitasi keagamaan masih perlu dilanjutkan karena waktu detoksifikasi tidaklah cukup untuk memulihkan
klien rehabilitasi menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan agamanya masing-masing. Pendalaman, penghayatan, dan pengamalan keagamaan atau keimanan ini
dapat menumbuhkan kerohanian (spiritual power)
pada diri seseorang sehingga mampu menekan risiko seminimal mungkin
terlibat kembali dalam penyalahgunaan
NAPZA apabila
taat
dan
rajin
menjalankan ibadah, risiko kekambuhan hanya 6,83%; bila kadang-kadang beribadah risiko kekambuhan
21,50%, dan apabila tidak sama sekali menjalankan ibadah agama risiko kekambuhan mencapai 71,6%.
H. Pengkajian
1. Kaji
situasi kondisi penggunaan zat
* Kapan zat digunakan
* Kapan zat menjadi lebih sering digunakan/mulai menjadi masalah
* Kapan zat dikurangi/dihentikan, sekalipun hanya sementara
2. Kaji
risiko yang berkaitan dengan penggunaan
zat
* Berbagi
peralatan suntik
* Perilaku seks yang tidak
nyaman
* Menyetir sambil mabuk
* Riwayat over dosis
* Riwayat serangan
(kejang) selama putus zat
3. Kaji
pola penggunaan
* Waktu penggunaan dalam sehari
(pada waktu menyiapkan makan malam)
* Penggunaan selama
seminggu
* Tipe situasi (setelah
berdebat atau bersantai di depan TV)
* Lokasi (timbul
keinginan untuk
menggunakan
NAPZA
setelah
berjalan melalui rumah bandar)
* Kehadiran atau bertemu
dengan orang-orang
tertentu
(mantan pacar, teman pakai)
* Adanya pikiran-pikiran tertentu (“Ah, sekali nggak bakal ngerusak” atau “Saya udah nggak
tahan lagi nih, saya harus make”)
* Adanya emosi-emosi tertentu (cemas atau bosan)
* Adanya faktor-faktor pencetus (jika capek, labil, lapar, tidak dapat tidur atau stres yang berkepanjangan)
4. Kaji
hal baik/buruk tentang penggunaan zat maupun tentang kondisi
bila tidak menggunakan.
I. Diagnosa Keperawatan

belum mampu mengatasi
keinginan menggunakan zat
J. Tindakan Keperawatan
Strategi Pertemuan 1- Klien:
1) mendiskusikan dampak penggunaan
NAPZA bagi kesehatan, cara meningkatkan motivasi
berhenti, dan cara mengontrol keinginan.
2) melatih cara meningkatkan motivasi dan cara mengontrol keinginan.
3) membuat jadwal latihan
Latihan SP 1-Klien
Orientasi
“Selamat pagi Dik, perkenalkan saya suster M”. “Nama adik siapa?” “Lebih
senang dipanggil apa” “Bagaimana keadaan kamu pagi ini?” “Kalau
A tidak
keberatan, selama 20 menit kedepan kita
akan bercakap-cakap tentang
kesehatan A?” “Bagaimana kalau kita bercakap-cakap
di teras
depan ruangan A?”

“Apa yang
biasa A pakai sebelum
masuk ke pusat rehabilitasi ini?” “Ganja?” “Apakah ada keluhan dengan kesehatan A?” “Bagaimana hubungan A dengan
teman-teman A?” “Bagaimana
dengan sekolah A?” “Sejak kapan A
menggunakan ganja?” “Pada situasi
yang bagaimana
timbul
keinginan A
menghisap ganja?” “Apa saja akibat yang A rasakan kalau menghisap ganja?” “Apakah A ingin berhenti?” “Bagus!” “Berapa kali A mencoba
berhenti?”
“Bagaimana perasaan A ketika tidak
menghisap ganja?” “Apa yang menyebabkan
A memakai ganja lagi?” “Baiklah kalau begitu, Suster akan jelaskan akibat
kesehatan yang dapat terjadi. (Jelaskan sesuai
jenis NAPZA yang dipakai, tabel
1 dan 2). “Yang mana yang sudah A alami?”
“Jadi A ingin coba berhenti?”
“Sekarang mari kita bicarakan apa-apa saja yang masih dapat dibanggakan dari A, kita
mulai
dari:
* Diri A: “Coba A lihat aspek positif yang masih A miliki.” “Betul A
masih sangat muda, punya pendidikan, sehat, dan masa depan yang cerah sedang
menunggu
kamu, bagus sekali.”
* Keluarga
A: “A masih punya ayah, ibu, dan saudara-saudara kamu yang begitu
perhatian
dengan
kamu”.
“Ternyata banyak sekali hal
positif yang ada pada
A” “Sekarang bagaimana kalau A berlatih mensyukuri hal positif yang
ada pada A” “Katakan saya masih muda, saya harus berhenti!”
“Bagaimana kalau
kita teruskan diskusi
tentang cara-cara menghindari
penggunaan
ganja.” “Ada beberapa
cara yaitu:

2. Kunjungi teman-teman yang
tidak menggunakan
3. Bicara pada teman-teman yang berhasil berhenti
4. Kalau pergi keluar dari
rumah sebaiknya
ditemani
keluarga
“Selain itu lakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.” “Apa
contohnya A?” “Bagus!” “Mari
kita buat jadwal kegiatannya.”
Terminasi
“Bagaimana perasaan
A
setelah bercakap-cakap?”
“Bagus sekali.” “Nah,
suster mau tanya lagi:
“Coba A sebutkan kembali hal-hal positif yang masih A miliki!” “Bagus sekali” “Yang mana yang
mau dilatih?” “Saya bisa berhenti.” (Afirmasi). “Sekarang coba sebutkan kembali cara
menghindari penggunaan ganja!” “Benar” “Yang mana yang mau dilatih” “Nah, masukkan
dalam jadwal latihannya dan dicoba” “Besok
pagi suster akan datang kembali, kita akan diskusikan lagi hasil
latihannya dan kita latih cara yang lain.” “Bagaimana A”
“Baiklah kalau begitu besok jam 11.00
kita ketemu ya.” “Sampai
jumpa”
Beberapa hal
yang harus diperhatikan oleh perawat untuk
membantu klien
mengatasi craving/nagih
(keinginan untuk menggunakan kembali
NAPZA) adalah sebagai berikut:
1) identifikasi rasa nagih muncul, 2)
ingat diri sendiri, rasa nagih normal muncul saat kita berhenti,
3) ingatlah rasa nagih seperti kucing lapar, semakin lapar, semakin
diberi makan semakin sering muncul, 4) cari seseorang yang dapat mengalihkan
dari rasa nagih, 5) coba menyibukkan diri saat rasa nagih datang, 6) tundalah
penggunaan sampai
beberapa saat, 6) bicaralah pada
seseorang yang dapat
mendukung, 7) lakukan
sesuatu yang dapat membuat rileks
dan
nyaman, 7) kunjungi teman-teman yang tidak menggunakan narkoba, 7) tontonlah video, ke bioskop atau dengar musik yang dapat membuat
rileks, 8) dukunglah usaha anda untuk berhenti
sekalipun sering berakhir
dengan menggunakan lagi, 9) bicara pada teman-teman yang berhasil
berhenti, dan 10) bicaralah pada teman-teman tentang
bagaimana mereka menikmati hidup atau rilekslah untuk dapat banyak ide.
Menurut Keliat dkk. (2006), tujuan tindakan keperawatan untuk keluarga adalah sebagai berikut:
1) Keluarga dapat mengenal masalah ketidakmampuan anggota
keluarganya berhenti menggunakan
NAPZA
2) Keluarga dapat meningkatkan motivasi
klien untuk berhenti
3) Keluarga dapat menjelaskan cara merawat klien NAPZA
4) Keluarga dapat mengidentifikasi kondisi pasien yang perlu dirujuk
Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pada keluarga
anatara lain:
1) Diskusikan tentang masalah yang dialami keluarga dalam merawat klien
2)
Diskusikan bersama keluarga tentang
penyalahgunaan/ketergantungan zat
(tanda, gejala, penyebab, akibat) dan tahapan penyembuhan klien
(pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi).
3) Diskusikan
tentang kondisi klien yang perlu segera dirujuk seperti:
intoksikasi berat, misalnya penurunan kesadaran, jalan sempoyongan, gangguan penglihatan (persepsi), kehilangan pengendalian diri, curiga
yang berlebihan, melakukan
kekerasan sampai menyerang orang lain. Kondisi lain dari klien yang perlu mendapat
perhatian keluarga adalah gejala putus zat seperti nyeri (sakau), mual sampai muntah, diare,
tidak dapat tidur, gelisah,
tangan gemetar, cemas yang berlebihan, depresi (murung yang berkepanjangan).
4) Diskusikan
dan latih keluarga merawat klien NAPZA dengan cara:
menganjurkan keluarga meningkatkan
motivasi klien untuk berhenti atau menghindari sikap-sikap yang dapat
mendorong
klien untuk memakai NAPZA lagi (misalnya menuduh klien sembarangan
atau terus menerus mencurigai
klien memakai lagi);
mengajarkan
keluarga mengenal ciri-ciri klien memakai NAPZA lagi (misalnya memaksa
minta uang, ketahuan
berbohong, ada
tanda dan gejala
intoksikasi); ajarkan keluarga
untuk
membantu
klien
menghindar atau mengalihkan perhatian dari keinginan untuk memakai NAPZA
lagi; anjurkan keluarga memberikan
pujian bila klien dapat berhenti
walaupun 1 hari, 1
minggu atau 1
bulan; dan anjurkan
keluarga mengawasi klien minum obat.
Strategi Pertemuan dengan Pasien dan Keluarga Penyalahgunaan
dan Ketergantungan NAPZA
No.
|
Kemampuan
Pasien dan Keluarga
|
Tanggal/Bulan
|
|||
|
|
|
|
||
A
|
Pasien
|
|
|
|
|
|
Sp 1
|
|
|
|
|
1
|
Membina hubungan saling
percaya
|
|
|
|
|
2
|
Mendiskusikan dampak
NAPZA
|
|
|
|
|
3
|
Mendiskusikan cara meningkatkan motivasi
|
|
|
|
|
4
|
Mendiskusikan cara mengontrol keinginan
|
|
|
|
|
5
|
latihan cara meningkatkan motivasi
|
|
|
|
|
6
|
Latihan cara mengontrol keinginan
|
|
|
|
|
7
|
Membuat jadwal aktivitas
|
|
|
|
|
|
Sp 2
|
|
|
|
|
1
|
Mendiskusikan cara menyelesaikan
masalah
|
|
|
|
|
2
|
Mendiskusikan cara hidup
sehat
|
|
|
|
|
3
|
Latihan cara menyelesaikan
masalah
|
|
|
|
|
4
|
Latihan cara hidup sehat
|
|
|
|
|
5
|
Mendiskusikan tentang
obat
|
|
|
|
|
B
|
Keluarga
|
|
|
|
|
|
Sp 1
|
|
|
|
|
1
|
Mendiskusikan masalah yang dialami
|
|
|
|
|
2
|
Mendiskusikan tentang
NAPZA
|
|
|
|
|
3
|
Mendiskusikan tahapan
penyembuhan
|
|
|
|
|
4
|
Mendiskusikan cara merawat
|
|
|
|
|
5
|
Mendiskusikan kondisi yang perlu dirujuk
|
|
|
|
|
6
|
Latihan cara merawat
|
|
|
|
|
|
Sp 2
|
|
|
|
|
1
|
Mendiskusikan cara meningkatkan motivasi
|
|
|
|
|
2
|
Mendiskusikan pengawasan dalam minum obat
|
|
|
|
|
(Sumber: Keliat
dkk. 2006)
K. Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan dari klien adalah sebagai berikut:
1. Klien mengetahui
dampak NAPZA
2. Klien mampu melakukan cara meningkatkan motivasi untuk berhenti
menggunakan NAPZA
3. Klien
mampu mengontrol
kemampuan keinginan
menggunakan
NAPZA kembali
4. Klien dapat menyelesaikan masalahnya dengan koping yang adaptif
5. Klien dapat menerapkan cara hidup yang sehat
6. Klien mematuhi program pengobatan
Evaluasi yang diharapkan dari keluarga adalah sebagai berikut:
1. Keluarga mengetahui masalah
yang dialami klien
2. Keluarga mengetahui tentang
NAPZA
3. Keluarga mengetahui tahapan proses
penyembuhan klien
4. Keluarga
berpartisipasi dalam merawat
klien
5. Keluarga memberikan motivasi
pada klien untuk sembuh
6. Keluarga mengawasi
klien dalam minum obat
L. Dokumentasi Asuhan Keperawatan
CATATAN
KEPERAWATAN
Nama Klien : AY
Nama Ruang : Anggrek No. RM :
02-02-7788
Tanggal :
08-08-2008
Data:
AY (20 tahun) mahasiswa salah
satu
PTS
di kota Medan sudah
2
tahun terakhir ini menggunakan shabu-shabu. Sebelum menggunakan shabu-shabu,
klien mengkonsumsi ectasy. Keluarga sudah 2 kali membawa AY ke panti
rehabilitasi untuk mendapat pengobatan. Biasanya
setelah menjalani rehabilitasi
klien berhenti menggunakan shabu-shabu.
Akan tetapi waktunya tidak lama, paling lama 6 bulan. Ini kali ketiga klien dirawat di panti rehabilitasi.
Klien mengatakan sudah berusaha untuk menghentikan kebiasaan mengkonsumsi shabu-shabu.
Tetapi keinginan itu tidak bertahan lama karena dia
sering ketemu dan
berkumpul bersama teman-teman pemakai NAPZA.
Klien sulit
untuk
menolak ajakan teman-temannya.

Koping individu
tidak efektif: belum mampu mengatasi keinginan
menggunakan zat
Tindakan Keperawatan:
1. Mendiskusikan
tentang dampak penggunaan NAPZA
bagi kesehatan
2. Mendiskusikan
tentang cara meningkatkan motivasi untuk
berhenti
3. Mendiskusikan
tentang cara menghindar
dari
teman-teman
pemakai
NAPZA
4. Mendiskusikan tentang cara penyelesaian masalah
secara sehat
5. Mendiskusikan
tentang gaya hidup yang
sehat
6. Melatih
cara untuk menghindar dan mengontrol keinginan menggunakan
NAPZA kembali
7.
Melatih
cara
menyelesaikan
masalah:
dicurigai/dituduh
menggunakan
NAPZA kembali oleh keluarga/sekolah/pekerjaan
Evaluasi:
S: Klien berjanji akan menghindari teman-temannya yang masih
menggunakan NAPZA
O:
Klien tampak tidak mau menemui teman kelompoknya ketika berkunjung
untuk menjenguknya di panti rehabilitasi
A: Keinginan
untuk menggunakan kembali NAPZA terkadang
muncul

Tanda tangan:
Nama Perawat:
Daftar Pustaka
Akemat. (2002). Asuhan Keperawatan Klien dengan Perubahan Sensori
Persepsi: Halusinasi. Makalah.
Tidak dipublikasikan.
Beck, C.M., Rawlins, R.P., dan William, S.R. (Eds.). (1984).
Mental Health Psychiatric
Nursing: A Holisticlife-Cycleapproach.
St. Louis: The CV. Mosby Company.
Bentall dkk. (2001). Persecutory Delusions: A Review and Theoretical
Integration. Clinical Psychology Review, 21(8),
1143-1192.
Boyd, M.A. (2005). Psychiatric
Nursing: Contemporary Practice. (3 rd ed.). Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins.
Budiharto dkk. (2003). Karakteristik individu yang berhubungan
dengan perilaku kekerasan pada siswa sekolah lanjutan tingkat atas di
Jakarta Timur. Jurnal Keperawatan Indonesia,
7(2): 67-76.
Breakwell, G. (2002). Coping
with aggressive behaviour.
Jokjakarta:
Kanisius.
Cook, J.S.,
dan
Fontaine, K.L. (1987). Essentials of mental health nursing. California: Addison-Wesley Publishing Company.
Corey, G. (1995). Theory and Practice of Counselling and
Psychotherapy. (terjemahan Mulyarto). IKIP: Semarang Press. Cronin, S.N., & Harrison,
B. (1888b). Caring behaviors assessment tool.
In J. Watson. (Ed).,
Assessing and Measuring Caring In
Nursing
and Health
Science (pp. 77-91).
New York: Springer Publishing. Depkes.(2001). Pedoman Praktis Mengenai
Penyalahgunaan
NAPZA
Bagi Petugas Puskesmas. Dapat diakses di
http://dinkesjatim.go.id/erita-detail.html dibuka pada tanggal 20
Maret 2008.
Fortinash, C.M, dan Holloday, P.A. (1991). Psychiatric Nursing Care
Plan. St.Louis: Mosby year book
Hawari, D. (1990).
Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif).
Jakarta: FK-UI
,
(2003).
Penyalahgunaan dan
Ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif). Jakarta:
FK-UI
Hall, C.S., & Lindzey, G. (1993). Theory of Personality. (terjemahan A.
Supratika). Jogjakarta: Kanisius.
Hidayat, A.A.A. (2006).
Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia:
Aplikasi, Konsep, dan Proses Keperawatan.
Jakarta: Salemba.
Joewana, S. (2004). Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan
Zat Psikoaktif. Jakarta: EGC.
Kartikasari, B.D. (1995). Hubungan
antara Dukungan Sosial dengan
Kecemasan dalam Komunikasi
Interpersonal. Skripsi. (tidak
diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi
Universitas Gajah Mada.
Keliat, B.A. (1994).
Gangguan konsep
diri. Jakarta: EGC
, (1995).
Tingkah laku bunuh diri. Cetakan 2. Jakarta: EGC. Keliat, B.A. dkk (2005).
Modul
Basic
Course
Community
Health
Nursing. Tidak dipublikasikan. Jakarta: FIK UI
, (2006). Modul IC CMHN: Manajemen Kasus Gangguan Jiwa
dalam Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Tidak
dipublikasikan. Jakarta:
FIK UI
Keliat, B.A, Panjaitan, R.U., & Helena,
N.(2006). Proses Keperawatan
Kesehatan Jiwa.
Edisi 2. Jakarta:
EGC
Keltner, N.L, Schueke, L.H dan Bostrom,
CE
(1991).
Psychiatric
Nursing: A Psycho Terapeutic Management Approach. St. Louis:
Mosby Year Book
Lovallo, W.R. (1997). Stress and Health. Thousand
Oask, CA: Sage. Mardiyono. (2004). Caring Practices in Reducing Pre-Operating Anxiety
as
Perceived by Surgical Nurse and Patients in Bayumas, Central Java, Indonesia. Thesis
Unpublished. Thailand: Prince of Songkla University.
Martono, L.H. (2006).
Membantu Pemulihan Pecandu Narkoba
dan
Keluarganya. Jakarta: Balai Pustaka.
Marviana dkk. (2000). Narkoba dan Remaja. Jakarta: Gramedia.
Minirth & Meier. (2000). Kebahagiaan
Sebuah Pilihan, Gejala, Penyebab, dan Pengobatan
Depresi. Cetakan 2. Jakarta:
Gunung Mulia.
Muchid, A. dkk. (2007).
Pharmaceutical Care Untuk
penderita Gangguan Depresif. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik DepKes.
RI.
Towsend, M.C. (1993). Psychiatric
Mental Health Nursing: Concept of
Care. (2 nd ed.). Philadelphia: Davis Company.
Trismiati. (2004).
Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Pria dan Wanita Akseptor Kontrasepsi Mantap di RSUP dr. Sarjito Yogyakarta. Palembang: Fakultas
Psikologi Universitas Bina Dharma.
Wilson,
H.S, and Kneils, C.R . (1992). Psychiatric Nursing. California: Addison Wesley Nursing.
Sinaga,
J. (2007). Hubungan Faktor Penyalahgunaan
NAPZA dengan Pemakaian NAPZA pada Remaja Putra di Panti Sosial Pamardi
Putra Insyaf Medan. Skripsi. Tidak
dipublikasikan. Medan:
PSIK FK USU.
Shives, L.R. (1986).
Basic concepts of psychiatric-mental health
nursing.
Philadephia: J.B. Lippincott Company.
Spielberger,
C.D. (1983). Manual for The State-Trait Anxiety Inventory
(Form Y): Self Evaluation Questionnaire.
Palo Alto: Consulting Psychologists
Press, Inc.
Stuart, G.W.,& Sundeen,
S.J (1995). Principles
and Practice of
Psychiatric Nursing. St. Louis: Mosby Year Book.
, (1995).
Pocket
Guide
to
Psychiatric Nursing. St.
Louis: Mosby Year. Louis: Mosby Year Book.
, (1998). Principles and practice of psychiatric nursing.
(6 th ed.). St. Louis:
Mosby Year Book.
Stuart, G.W. (2006). Keperawatan Jiwa. (Edisi
5.). Jakarta: EGC.
Stuart & Laraia. (2001).
Principles and practice
of psychiatric nursing.
USA: Mosby
Company.
Tomb, D. (2003). Buku Saku Psikiatri. Jakarta: EGC.
Townsand, M.C. (1998). Diagnosa keperawatan pada keperawatan
psikiatri: Pedoman untuk pembuatan
rencana keperawatan. Jakarta: EGC (Terjemahan)
Trismiati (2004). Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Pria dan Wanita Akseptor Kontrasepsi Mantap di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Jurnal PSYCHE, 1(1).
Pasquali, E.A.,& Arnold,
H.N.,&
DeBasio,N.
(1989). Mental Health
Nursing:
A Psycho: A Holistic Approach. St. Louis: C.V. Mosby
Company.
Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Keperawatan Dasar: Konsep, Proses dan
Praktik. (terjemahan). Edisi 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Varcarolis, E.M. (2000). Psychiatric Nursing
Clinical Guide: Assessment
Tools & Diagnosis. Philadelphia: W.B. Saunders
Company. Wignyosoebroto, S. (1981).
Gejala Sosial Masyarakat Kini yang Tengah
Terus Berubah.
Makalah. Surabaya: Simposium Ansietas.
Wresniwiro. (1999). Narkoba dan Pengaruhnya. Jakarta:
Widya Medika. Yatim, D.I., & Irwanto.
(1986). Kepribadian, Keluarga,
dan Narkotika:
Tinjauan Sosial-Psikologis. Jakarta: Arca.
Yosep, I. (2007). Keperawatan Jiwa. Cetakan 1. bandung: PT Refika
Aditama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar