Bab I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Strategi pembangunan kesehatan menuju
"Indonesia Sehat 2010" mengisyaratkan bahwa seluruh pembangunan
kesehatan ditujukan kepada upaya menyehatkan bangsa. Indikator keberhasilan
penyehatan bangsa antara lain adalah angka mortalitas dan morbiditas, angka
kematian ibu dan angka kematian bayi. Selama kurun waktu tiga dasawarsa
terakhir, terlihat adanya penurunan angka mortalitas dan morbiditas neonatal
secara bermakna di seluruh dunia, namun penurunan tersebut lebih terlihat nyata
di negara-negara maju dibanding di negara sedang berkembang.
Indonesia
sebagai negara sedang berkembang, mempunyai angka kematian bayi (AKB) 41,4 per
1.000 kelahiran hidup (tahun 1997) yang diproyeksikan akan menjadi 18 per 1.000
kelahiran hidup (tahun 2025), sehingga perlu upaya yang keras dalam mencapai
sasaran tersebut. Salah satu upaya menurunkan AKB adalah dengan mencegah
terjadinya perdarahan otak pada bayi baru lahir sebagai akibat kekurangan
vitamin K1. Di beberapa negara Asia angka kesakitan bayi karena
perdarahan akibat defisiensi vitamin K (PDVK) berkisar
1:1.200 sampai 1:1.400 kelahiran hidup (Thailand). Angka tersebut dapat turun
menjadi 10:100.000 kelahiran hidup dengan pemberian profilaksis vitamin K1
pada bayi baru lahir.1,2
Permasalahan akibat PDVK adalah terjadinya perdarahan
otak dengan angka kematian 10-50% yang umumnya terjadi pada bayi dalam rentang
umur 2 minggu–6 bulan, dengan akibat angka kecacatan 30-50%. Data PDVK secara nasional di Indonesia
belum tersedia. Sedangkan data dari Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM (tahun 1990-2000) menunjukkan terdapatnya 21
kasus, 17 (81%) di antaranya mengalami komplikasi perdarahan intrakranial
(catatan medik IKA RSCM 2000).
Terdapat
berbagai penyebab terjadinya PDVK pada bayi, antara lain rendahnya kandungan vitamin K pada air susu ibu (ASI) serta belum
sempurnanya fungsi hati pada bayi baru lahir terutama bayi kurang bulan. Oleh
karena itu dibutuhkan suatu kebijakan nasional
penambahan vitamin K pada bayi guna menunjang program pemberian ASI eksklusif
di Indonesia dalam rangka menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi baru
lahir.
I.2. Permasalahan
Bayi baru lahir cenderung memiliki kadar
vitamin K dan cadangan vitamin K dalam hati yang relatif lebih rendah dibanding
bayi yang lebih besar. Sementara itu pasokan vitamin K dari ASI rendah,
sedangkan pasokan vitamin K dari makanan tambahan dan sayuran belum dimulai.
Hal ini menyebabkan bayi baru lahir cenderung mengalami defisiensi vitamin K
sehingga berisiko tinggi untuk mengalami perdarahan intrakranial.
Di Indonesia
pemberian vitamin K pada bayi baru lahir sudah dilakukan, namun belum ada
laporan resmi secara regional maupun nasional mengenai pemberian profilaksis
vitamin K pada bayi baru lahir, dan apakah pemberian vitamin K ini merupakan
suatu standar pelayanan yang harus diberikan kepada semua bayi baru lahir atau
hanya diberikan kepada bayi yang memiliki risiko saja (bayi dengan berat lahir
rendah / BBLR, bayi lahir dengan tindakan yang traumatis, bayi lahir dengan ibu
yang mengkonsumsi obat antikoagulan, obat antikonvulsan, dll) masih merupakan
kontroversi.
Sampai saat
ini Indonesia belum mempunyai suatu penuntun baku mengenai cara pemberian
profilaksis vitamin K pada bayi baru lahir. Hal ini memunculkan pertanyaan
mengenai apakah vitamin K lebih efektif diberikan secara intramuskular (IM)
atau oral, bilamana waktu pemberian, berapa dosis pemberian, siapa yang
berwenang memberikan, apakah diberikan secara massal atau pada kasus tertentu
saja, dan berapa biayanya.
Sediaan
vitamin K yang ada di Indonesia adalah vitamin K3 (menadione) dan vitamin K1 (phytomenadione). Banyak negara di dunia merekomendasi vitamin K1.
Australia sudah menggunakan vitamin K1 (Konakion®)
sebagai regimen profilaksis vitamin K pada bayi baru lahir (sejak tahun 1961),
sehingga diperlukan kajian tentang pemberian profilaksis dengan vitamin K1
sebagai preparat yang mungkin lebih stabil.3
Di lain
pihak terdapat kekhawatiran tentang hubungan antara profilaksis vitamin K
dengan kejadian kanker pada anak. Kekhawatiran ini muncul setelah adanya
penelitian yang dipublikasikan oleh Golding dkk pada tahun 1992 yang menyatakan
adanya peningkatan risiko terjadinya kanker anak pada bayi yang mendapat
profilaksis vitamin K intramuskular, namun
penelitian-penelitian lain membantah hal ini.5,8,20,21
Dalam KONIKA
(Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak) XI tahun 1999 di Jakarta dan Kongres
Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia (PHTDI) ke VIII tahun 1998
di Surabaya dan ke IX tahun 2001 di Semarang telah dibahas dan direkomendasikan pemberian profilaksis vitamin
K pada bayi baru lahir. Hal inilah yang mendorong dilakukannya kajian terhadap
pemberian profilaksis vitamin K1 pada bayi baru lahir.
I.3. Tujuan
Tujuan Umum
Mencegah kejadian, menurunkan angka
kesakitan, angka kematian dan angka kecacatan pada bayi akibat PDVK dengan cara
pemberian profilaksis vitamin K1 pada bayi baru lahir di Indonesia.
Tujuan Khusus
Terwujudnya kajian ilmiah sebagai dasar
rekomendasi pemerintah dalam menetapkan kebijakan program pemberian profilaksis
vitamin K1 pada bayi baru lahir di Indonesia.
Bab II
PERDARAHAN AKIBAT DEFISIENSI VITAMIN K (PDVK)
II.1. Pengertian
PDVK adalah terjadinya perdarahan spontan atau perdarahan
karena proses lain seperti pengambilan darah vena atau operasi yang disebabkan
karena berkurangnya aktivitas faktor koagulasi yang tergantung vitamin K
(faktor II, VII, IX dan X) sedangkan aktivitas faktor koagulasi yang tidak bergantung
pada vitamin K, kadar fibrinogen dan jumlah trombosit masih dalam batas normal
(Sutor dkk 1999). Hal ini dibuktikan bahwa
kelainan tersebut akan segera membaik dengan pemberian vitamin K dan setelah
sebab koagulopati lain disingkirkan.3- 8
II.2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, frekuensi PDVK yang
dilaporkan bervariasi antara 0,25-1,7%. Angka kejadian PDVK ditemukan lebih
tinggi pada daerah-daerah yang tidak memberikan profilaksis vitamin K secara
rutin pada bayi baru lahir.9
Survei di
Jepang menemukan kasus ini pada 1:4.500 bayi, 81% di antaranya ditemukan komplikasi
perdarahan intrakranial, sedangkan di Thailand angka PDVK adalah 1:1.200 bayi.10
Angka kejadian pada kedua negara ini menurun setelah diperkenalkannya pemberian
vitamin K profilaksis pada semua bayi baru lahir.1,2
Angka
kejadian perdarahan intrakranial karena PDVK di Thailand dilaporkan sebanyak
82% atau 524 kasus dari 641 penderita PDVK, sedangkan di Inggris 10 kasus dari
27 penderita atau sebesar 37%. Sedangkan di India angka kejadian PDVK
dilaporkan sebanyak 1 kasus tiap 14.000 bayi yang tidak mendapat vitamin K
profilaksis saat lahir.11
Berikut ini
adalah hasil penelitian di beberapa negara mengenai insidens PDVK lambat pada
bayi baru lahir baik yang telah mendapat profilaksis vitamin K atau belum (Tabel 1).12
Tabel 1. Insidens PDVK lambat di berbagai
negara
No
|
Nama
|
Tahun penelitian
|
Negara
|
Pemberian profilaksis
vitamin K
|
Insidens per 100.000
kelahiran
|
1
|
Ungchusak K.
|
1983
|
Thailand
|
Tidak
|
35
|
2
|
Khanjanathiti P
|
1977-78
|
Thailand
|
Tidak
|
80
|
3
|
Chuansumrit A
|
1977-87
|
Thailand
|
Tidak
|
80
|
4
|
Isarangkura P
|
1988-95
|
Thailand
|
Sebagian besar
|
4,2-7,8
|
5
|
Nakayama K
|
1978-80
|
Jepang
|
- (tidak diketahui)
|
25
|
6
|
Hanawa Y
|
1981-85
|
Jepang
|
Sebagian
|
20
|
7
|
Hanawa Y
|
1985-88
|
Jepang
|
Ya
|
6
|
8
|
Von Kries R
|
1998
|
Eropa
|
Tidak
|
4-10
|
9
|
Victora CG
|
1998
|
AS
|
Ya dan tidak
|
4,4-7,2
|
(Dikutip dari Isarangkura PB, Chuansumrit A. Vitamin K
deficiency in infants. Hematology 1999 Educational Program and Scientific
Supplement of the IX Congress of the International Society of Haematology,
Asian-Pacific Division. Bangkok, Thailand. 1999)
Data dari
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 1990-2000 terdapat 21 kasus PDVK. Tujuh belas
kasus (81%) mengalami komplikasi perdarahan intrakranial dengan angka kematian
19% (Catatan Medik IKA-RSCM tahun 2000).
II.3. Faktor risiko
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya PDVK antara
lain ibu yang selama kehamilan mengkonsumsi obat-obatan yang mengganggu
metabolisme vitamin K seperti, obat antikoagulan oral (warfarin); obat-obat
antikonvulsan (fenobarbital, fenitoin, karbamazepin); obat-obat antituberkulosis
(INH, rifampicin); sintesis vitamin K yang kurang oleh bakteri usus (pemakaian
antibiotik, khususnya pada bayi kurang bulan); gangguan fungsi hati
(kolestasis); kurangnya asupan vitamin K dapat terjadi pada bayi yang mendapat
ASI eksklusif, karena ASI memiliki kandungan vitamin K yang rendah yaitu <20
ug/L bila dibandingkan dengan susu sapi yang memiliki kandungan vitamin K 3
kali lipat lebih banyak (60 ug/L). Selain itu asupan vitamin K yang kurang juga
disebabkan sindrom malabsorpsi dan diare kronik.3-5,9,12
II.4. Klasifikasi
PDVK dibagi menjadi early, clasiccal dan late
berdasarkan pada umur saat kelainan tersebut bermanifestasi (Sutor dkk 1999,
Von Kries 1999). 3-10,12
- Early VKDB (PDVK dini), timbul pada hari pertama kehidupan. Kelainan ini jarang sekali dan biasanya terjadi pada bayi dari ibu yang mengkonsumsi obat-obatan yang dapat mengganggu metabolisme vitamin K. Insidens yang dilaporkan atas bayi dari ibu yang tidak mendapat suplementasi vitamin K adalah antara 6-12% (tinjauan oleh Sutor dkk 1999).
- Classical VKDB (PDVK klasik), timbul pada hari ke 1 sampai 7 setelah lahir dan lebih sering terjadi pada bayi yang kondisinya tidak optimal pada waktu lahir atau yang terlambat mendapatkan suplementasi makanan. Insidens dilaporkan bervariasi, antara 0 sampai 0,44% kelahiran. Tidak adanya angka rata-rata kejadian PDVK klasik yang pasti karena jarang ditemukan kriteria diagnosis yang menyeluruh.
- Late VKDB (PDVK lambat), timbul pada hari ke 8 sampai 6 bulan setelah lahir, sebagian besar timbul pada umur 1 sampai 3 bulan. Kira-kira setengah dari pasien ini mempunyai kelainan hati sebagai penyakit dasar atau kelainan malabsorpsi. Perdarahan intrakranial yang serius timbul pada 30-50%. Pada bayi berisiko mungkin ditemukan tanda-tanda penyakit hati atau kolestasis seperti ikterus yang memanjang, warna feses pucat, dan hepatosplenomegali. Angka rata-rata kejadian PDVK pada bayi yang tidak mendapatkan profilaksis vitamin K adalah 5-20 per 100.000 kelahiran dengan angka mortalitas sebesar 30% (Loughnan dan McDougall 1993).
II.5. Patofisiologi
Vitamin K adalah vitamin yang larut dalam
lemak, merupakan suatu naftokuinon yang berperan dalam modifikasi dan aktivasi
beberapa protein yang berperan dalam pembekuan darah, seperti protrombin atau
faktor II,VII,IX,X dan antikoagulan protein C dan S, serta beberapa protein
lain seperti protein Z dan M yang belum banyak diketahui perannya dalam
pembekuan darah.12-14
Ada tiga bentuk vitamin K yang diketahui yaitu:12-14
·
Vitamin K1 (phytomenadione), tedapat pada sayuran hijau.
Sediaan yang ada saat ini adalah cremophor dan vitamin K mixed micelles
(KMM).
·
Vitamin K2 (menaquinone) disintesis oleh flora usus
normal seperti Bacteriodes fragilis dan beberapa strain E. coli.
·
Vitamin K3 (menadione) merupakan vitamin K sintetik yang
sekarang jarang diberikan pada neonatus karena dilaporkan dapat menyebabkan
anemia hemolitik.
Secara
fisiologis kadar faktor koagulasi yang bergantung pada vitamin K dalam tali
pusat sekitar 50% dan akan menurun dengan cepat mencapai titik terendah dalam
48-72 jam setelah kelahiran. Kemudian kadar faktor ini akan bertambah secara
perlahan selama beberapa minggu tetapi tetap berada di bawah kadar orang
dewasa. Peningkatan ini disebabkan oleh absorpsi vitamin K dari makanan.
Sedangkan bayi baru lahir relatif kekurangan vitamin K karena berbagai alasan,
antara lain simpanan vitamin K yang rendah pada waktu lahir, sedikitnya
perpindahan vitamin K melalui plasenta, rendahnya kadar vitamin K pada ASI dan sterilitas
saluran cerna.30
Tempat
perdarahan utama adalah umbilikus, membran mukosa, saluran cerna, sirkumsisi
dan pungsi vena. Selain itu perdarahan dapat berupa hematoma yang ditemukan
pada tempat trauma, seperti hematoma sefal. Akibat lebih lanjut adalah
timbulnya perdarahan intrakranial yang merupakan penyebab mortalitas atau
morbiditas yang menetap.3-6
II.6. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang sering ditemukan
adalah perdarahan, pucat dan hepatomegali ringan. Perdarahan dapat terjadi
spontan atau akibat trauma, terutama trauma lahir. Pada kebanyakan kasus
perdarahan terjadi di kulit, mata, hidung dan saluran cerna. Perdarahan kulit
sering berupa purpura, ekimosis atau perdarahan melalui bekas tusukan jarum
suntik.12
Perdarahan
intrakranial merupakan komplikasi tersering (63%), 80-100% berupa perdarahan
subdural dan subaraknoid. Pada perdarahan intrakranial didapatkan gejala
peningkatan tekanan intrakranial (TIK) bahkan kadang-kadang tidak menunjukkan
gejala ataupun tanda. Pada sebagian besar kasus (60%) didapatkan sakit kepala,
muntah, anak menjadi cengeng, ubun-ubun besar membonjol, pucat dan kejang.
Kejang yang terjadi dapat bersifat fokal atau umum. Gejala lain yang dapat
ditemukan adalah fotofobia, edema papil, penurunan kesadaran, perubahan tekanan
nadi, pupil anisokor serta kelainan neurologis fokal.9
II.7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penurunan kompleks protombin
(faktor II,VII,IX,X) ditandai oleh pemanjangan masa pembekuan, masa protrombin dan masa tromboplastin
parsial. Masa perdarahan, jumlah leukosit dan trombosit biasanya normal.
Kebanyakan kasus disertai anemia normokromik normositik.2,3,12
Pemeriksaan
yang lebih spesifik yaitu pemeriksaan dekarboksilasi kompleks protrombin (protein
induced by vitamin K absence = PIVKA-II), pengukuran kadar vitamin K1
plasma atau pengukuran areptilase time yang menggunakan bisa ular Echis
crinatum.12,15-16 Pemeriksaan tersebut saat ini belum dapat
dilakukan di Indonesia. Perdarahan intrakranial dapat terlihat jelas
dengan pemeriksaan USG kepala, CT-Scan, atau MRI. Pemeriksaan ini selain untuk
diagnostik, juga digunakan untuk menentukan prognosis.9,15
II.8. Komplikasi
Komplikasi pemberian vitamin K antara lain reaksi
anafilaksis (bila diberikan secara IV), anemia hemolitik, hiperbilirubinemia
(dosis tinggi) dan hematoma pada lokasi suntikan.9
Bab III
METODOLOGI PENILAIAN
III.1. Strategi Penelusuran Kepustakaan
Penelusuran artikel dilakukan melalui Medline, New England Journal of Medicine,
Cochrane Library, British Medical Journal dalam 15 tahun terakhir
(1988-2003). Selain itu data juga diperoleh dari pedoman (guideline) maupun konsensus beberapa negara
(Australia, Selandia Baru, Inggris, Kanada). Penelusuran artikel maupun pedoman
dengan menggunakan kata kunci vitamin K,
newborn, prophylaxis.
Disertakan
pula hasil kajian ilmiah oleh Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah
Indonesia (PHTDI) yang dinyatakan dalam Konggres PHTDI ke VIII tahun 1998 di
Surabaya dan ke IX tahun 2001 di Semarang, dan hasil KONIKA XI tahun 1999 di
Jakarta.
III.2. Pengumpulan Data Lokal
Sampai saat ini belum ada data secara
nasional mengenai angka kejadian PDVK pada bayi baru lahir. Data yang ada
berasal dari tiap-tiap rumah sakit, antara lain dari Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun
1990-2000 sebanyak 21 kasus. Tujuh belas kasus (81%) mengalami komplikasi
perdarahan intrakranial dengan angka kematian 19%. Pada kurun waktu 2001-2002
ditemukan 6 kasus dicurigai PDVK dan 2 kasus PDVK di RSUP Dr. Soetomo-Surabaya
dengan angka kematian 0%, 3 kasus di RSU Dr. Sardjito-Yogyakarta, 6 kasus PDVK
di RSU Dr. Wahidin Sudirohusodo-Makasar.
III.3. Level of Evidence dan Tingkat Rekomendasi
Setiap literatur yang diperoleh dilakukan
penilaian kritis (critical appraisal)
berdasarkan kaidah evidence-based
medicine, kemudian ditentukan levelnya. Rekomendasi yang ditetapkan akan
ditentukan tingkat rekomendasinya.
Level of
evidence dan tingkat
rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish
Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan kriteria yang ditetapkan US
Agency for Health Care Policy and Research.
Level of evidence:
Ia. Meta-analisis randomized
controlled trials.
Ib. Minimal satu randomized controlled trials.
IIa.
Minimal satu non-randomized controlled trials.
IIb. Studi kohort dan / atau studi kasus-kontrol
IIIa. Studi cross-sectional
IIIb. Seri kasus dan laporan kasus
IV. Konsensus dan pendapat ahli
Rekomendasi:
A.
Evidence yang termasuk dalam level Ia atau Ib
B.
Evidence yang termasuk dalam level IIa atau II b
C.
Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb, atau IV
Bab IV
HASIL DAN DISKUSI
IV.1. Profilaksis
Hampir semua negara di dunia
merekomendasikan pemberian profilaksis vitamin K1 pada bayi baru lahir. Di
Australia profilaksis dengan mengguna-kan Konakion® 1 mg, IM dosis tunggal
sudah diperkenalkan sejak awal tahun 1970-an. Tindakan tersebut mula-mula
diberikan kepada bayi sakit, yaitu bayi kurang bulan, atau yang mengalami
asfiksia perinatal, dan akhirnya menjadi rutin untuk semua bayi baru lahir.
Pada tahun 2000, National Health and Medical Research Council (NHMRC) Australia
menyusun rekomendasi pemberian profilaksis vitamin K pada bayi baru lahir.
Dalam rekomendasi tersebut dinyatakan bahwa semua bayi baru lahir harus
mendapatkan profilaksis vitamin K1; bayi baru lahir yang bugar seharusnya
menerima vitamin K baik secara IM 1 mg, dosis tunggal pada waktu lahir atau 3 kali
dosis oral, masing-masing 2 mg yang diberikan pada waktu lahir, umur 3-5 hari
dan umur 4-6 minggu. Orang tua harus mendapat informasi pada saat antenatal
tentang pentingnya pemberian profilaksis vitamin K; dan setiap rumah sakit
harus memiliki protokol tertulis yang jelas tentang pemberian profilaksis
vitamin K pada bayi baru lahir.3 Selandia Baru sejak tahun 1995 telah
merekomendasikan profilaksis vitamin K kepada bayi baru lahir. Begitu pula
dengan British Columbia pada Maret 2001 dan Canadian Paediatric Society tahun
2002.4-6
Untuk negara berkembang seperti Thailand, sekitar 30-40
tahun yang lalu (1960-1970) setengah dari persalinan dibantu oleh dukun atau
bidan. Injeksi parenteral tidak dapat dilakukan oleh bidan sehingga Isarangkura
meminta perusahaan farmasi menyediakan vitamin K oral (Konakion®, Roche, Basel)
serta melakukan penelitian mengenai profilaksis vitamin K oral 2 mg dosis
tunggal yang dapat dilakukan secara rutin. Efikasi yang tinggi, toksisitas dan
harga yang rendah, cara pemberian dan penyimpanan yang sederhana menjadikan
profilaksis vitamin K secara oral memungkinkan untuk dilakukan di negara
berkembang.12 Pemberian
vitamin K profilaksis oral 2 mg untuk bayi baru lahir bugar dan 0,5–1 mg IM
untuk bayi tidak bugar (not doing well)
telah dilakukan secara rutin di Thailand sejak 1988 dan pemberiannya diwajibkan
di seluruh Thailand pada tahun 1994-1998. Insidens PDVK lambat laun menurun
dari 30-70 per 100.000 kelahiran menjadi 4-7 per 100.000 kelahiran. Sejak 1999
semua bayi baru lahir diberikan vitamin K profilaksis IM karena sebagian besar
persalinan terjadi di rumah sakit. Vitamin K profilaksis IM ini diberikan
bersama dengan imunisasi rutin seperti Hepatitis B dan BCG.12
Vitamin K
yang digunakan untuk profilaksis adalah vitamin K1. Cara pemberian dapat
dilakukan baik secara IM ataupun oral. 1-6,8,9,12,17-22
·
Intramuskular,
dengan dosis 1 mg pada seluruh bayi baru lahir. Pemberian dengan dosis tunggal
diberikan pada waktu bayi baru lahir.
·
Oral,
dengan dosis tunggal 2 mg diberikan tiga kali, yaitu pada saat bayi baru lahir,
pada umur 3-7 hari, dan pada umur 4-8 minggu.
IV.2. Efektivitas Profilaksis
Cornelissen dkk23 (1997)
merangkum hasil surveilans aktif tentang PDVK lambat yang dilakukan di Jerman,
Australia, Belanda dan Swiss yang dikumpulkan dengan strategi sama dan
dibandingkan angka kegagalannya. Terdapat 4 strategi pemberian vitamin K, yaitu
(1) pemberian vitamin K dosis rendah 25 ug/hari untuk bayi yang mendapat ASI
(Belanda); (2) 3x1 mg secara oral
(Australia: January 1993 – Maret 1994 dan Jerman: Desember 1992-Desember 1994);
(3) 1 mg IM (Australia: Maret 1994); (4) 2x2mg vitamin K oral (preparat KMM)
(Swiss). Angka kegagalan per 100.000 kelahiran hidup adalah 0,2 di Belanda, 2,3
di Jerman, 2,5 (profilaksis oral) dan 0 (profilaksis IM) di Australia, 3,6 di
Swiss. Angka kegagalan setelah profilaksis lengkap adalah 0 di Belanda, 1,8 di
Jerman, 1,5 (profilaksis oral) dan 0 (profilaksis IM) di Australia, 1,2 di
Swiss. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa dosis oral 3x1 mg kurang efektif bila
dibandingkan dengan profilaksis vitamin K IM; profilaksis dosis rendah 25 mg/hari untuk bayi yang
mendapat ASI mungkin sama efektif seperti profilaksis vitamin K parenteral.
Isarangkura
dkk17 (Thailand, 1989) telah melakukan evaluasi pengaruh pemberian
vitamin K profilaksis dosis tunggal pada bayi baru lahir peroral dibandingkan
dengan cara parenteral pada waktu lahir. Dua ratus enam puluh enam bayi sehat
yang mendapat ASI dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok 1 mendapat vitamin
K IM 1 mg; kelompok 2, 3, 4 mendapat vitamin K oral pada waktu 2-4 jam setelah
lahir masing-masing dengan dosis 2 mg, 3 mg dan 5 mg. Didapatkan hasil tidak
ada perbedaan statistik bermakna dalam rerata kadar kompleks protrombin.17
Profilaksis vitamin K pada bayi baru lahir peroral 2 mg ternyata sangat
menguntungkan, sama halnya dengan pemberian secara parenteral. Isarangkura
menyatakan bahwa seharusnya semua bayi baru lahir mendapatkan profilaksis
vitamin K baik secara oral maupun parenteral. Pemberian vitamin K secara oral praktis
untuk negara berkembang karena cara pemberian sederhana, harga murah,
toksisitas rendah dan kegunaan tinggi.
Pemberian vitamin K profilaksis IM menunjukkan insidens
PDVK lambat lebih kecil dibandingkan dengan cara pemberian oral (Tabel 2).
Konsensus
berbagai organisasi profesi di Selandia baru (dokter anak, dokter umum, dokter
kebidanan, bidan dan perawat) merekomendasikan bahwa semua bayi seharusnya
mendapat profilaksis vitamin K. Cara pemberian yang direkomendasikan adalah
secara IM 1 mg (bagi bayi prematur = 0,5 mg) diberikan pada waktu lahir. Jika
orang tua tidak setuju dengan pemberian secara IM, maka bayi diberikan vitamin
K oral 2 mg yang diberikan 3 kali yaitu pada waktu baru lahir, umur 3-5 hari
dan 4-6 minggu. Jika bayi muntah dalam waktu satu jam setelah pemberian oral
maka pemberiannya harus diulang.4 Hal ini juga direkomendasikan oleh
NHMRC pada tahun 2000, Newborn Services
Medical Guidelines (Selandia Baru) pada tahun 2000 dan British Columbia Reproductive Care Program pada tahun 2001.5,8
Tabel 2. Insidens PDVK lambat dengan vitamin K profilaksis IM vs oral
Cara pemberian
|
Insidens
Jumlah PDVK per 100.000 kelahiran
lambat/total kelahiran
|
|
IM:
|
|
|
K1 1 mg pada waktu lahir, dosis
tunggal
|
0:325.000
|
0
|
Oral:
|
|
|
K1 1 mg, 3x, H0, M1, M4-6
|
1:37.500
|
2,7
|
K1 1 mg, 3x, H1, H3, M3-4
|
1:40.625
|
2,5
|
KMM 2 mg H1, H4
|
1:20.750
|
4,8
|
K1 1mg H0,25ug/H, selama 3 bulan
|
1:87.800
|
1,1
|
K1 2 mg: dosis tunggal di Thailand
|
4-7:100.000
|
4-7
|
Tanpa vitamin K profilaksis di Thailand
|
35-80:100.000
|
30-80
|
(dikutip
dari Isarangkura PB, Chuansumrit A.
Vitamin K deficiency in infants. Hematology 1999 Educational Program and
Scientific Supplement of the IX Congress of the International Society of
Haematology, Asian-Pacific Division. Bangkok, Thailand. 1999)
International Society on Thrombosis and
Haemostasis, Pediatric/Perinatal Subcommittee seperti yang dilaporkan oleh Sutor dkk24
(tahun 1999) menyatakan bahwa pemberian vitamin K baik secara oral maupun IM
sama efektif dalam mencegah PDVK klasik, tetapi vitamin K IM lebih efektif
dalam mencegah PDVK lambat. Efikasi profilaksis oral meningkat dengan pemberian
berulang 3 kali daripada dosis tunggal, dan efikasi lebih tinggi bila diberikan
dalam dosis 2 mg daripada dosis 1 mg. Pemberian vitamin K oral yang diberikan
tiap hari atau tiap minggu sama efektif dengan profilaksis vitamin K IM.
Intramuskular
American Academy of
Pediatricians (AAP) (tahun 2003) merekomendasikan
bahwa Vitamin K harus diberikan kepada semua bayi baru lahir secara IM dengan
dosis 0,5-1 mg.25 Canadian
Paediatric Society (1997) juga merekomendasikan
pemberian vitamin K secara IM. Metode ini lebih disukai di Amerika Utara karena
efikasi dan tingkat kepatuhan yang tinggi.6
Oral
AAP juga menyatakan perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut tentang efikasi, keamanan, bioavailabilitas dan dosis
optimal vitamin K oral sediaan baru (KMM) untuk mencegah PDVK lambat.25 Cara
pemberian oral merupakan alternatif pada kasus-kasus bila orangtua pasien
menolak cara pemberian IM untuk melindungi bayi mereka dari nyeri karena
injeksi IM.3,5 Di samping itu untuk keamanan, bayi yang ditolong oleh dukun
bayi, sebaiknya diberikan secara oral.
Cara
pemberian vitamin K secara IM lebih disukai dengan alasan berikut ini:3,4,5,12
·
Absorpsi Vitamin K1 oral tidak sebaik vitamin K1 IM,
terutama pada bayi yang menderita diare.
·
Beberapa dosis vitamin K1 oral diperlukan selama beberapa
minggu. Sebagai konsekuensinya, tingkat kepatuhan orang tua pasien merupakan
suatu masalah tersendiri.
·
Mungkin terdapat asupan vitamin K1 oral yang tidak adekuat
karena absorpsinya atau adanya regurgitasi.
·
Efektivitas vitamin K1 oral belum diakui secara penuh.
Harga vitamin K profilaksis IM 1 mg berkisar antara US$
0,5-1 per dosis untuk setiap bayi baru lahir. Bank Dunia mengklasifikasikan
intervensi disability-adjusted life years (DALY) kurang dari US$ 100 adalah paling efektif.12
IV.3. Hubungan Profilaksis Vitamin K dan Kanker pada Anak
Tidak ada cukup bukti yang mendukung
hubungan profilaksis vitamin K dengan insidens kanker pada anak di kemudian
hari. Hal ini berdasarkan pada satu penelitian yang melibatkan 54.000 kelahiran
di Amerika Serikat, satu penelitian yang melibatkan 1.383.000 bayi di Swedia,
dua penelitian case control terhadap 132 dan 272 anak dengan kanker,
penelitian case control berbasis pada populasi pada 515 anak di
Skotlandia, dan penelitian case control lain atas 685 anak penderita
kanker.5,8,26,27 Penelitian case
control dilakukan oleh Von Kries dkk28 (1996) terhadap 272 anak
yang menderita leukemia dan kanker lainnya untuk mengetahui hubungan antara
pemberian profilaksis vitamin K IM dengan terjadinya kanker pada anak.
Didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara pemberian profilaksis vitamin
K IM dengan terjadinya kanker pada anak.
Kelompok
kerja vitamin K AAP meninjau ulang laporan yang dikemukakan oleh Golding dkk
serta informasi lain, juga menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara
pemberian vitamin K IM dengan leukemia pada anak atau kanker anak lainnya.25
Bab V
BIAYA
Di Indonesia terdapat 2 macam sediaan yaitu
Vitamin K3 dan Vitamin K1, namun demikian sediaan yang
ada diperuntukkan orang dewasa. Beberapa perusahaan farmasi yang memproduksi
vitamin K3 adalah Kimia Farma, bLancet, Erella, sedangkan yang
memproduksi vitamin K1 adalah Pharos.
Bila
diasumsikan angka kelahiran penduduk adalah 3,1/100 penduduk/ tahun, maka
jumlah bayi lahir = 3,1/100 x 220 juta penduduk / tahun = 6.820.000/tahun.
Vitamin K1 yang saat ini beredar di Indonesia adalah vitamin K1
IM 10 mg/ml seharga Rp 1.033,- dan oral dalam bentuk tablet salut gula 10 mg
seharga Rp 735,- (Pedoman Umum Pengadaan Obat Pelayanan Kesehatan Dasar tahun
2003).
Perhitungan biaya pemberian
vitamin K1 profilaksis adalah sebagai berikut:
- Kebutuhan biaya profilaksis vitamin K1 IM pada bayi baru lahir selama satu tahun adalah sebesar:
6.820.000 x Rp 1.033,- = Rp 7.045.060.000,-
Harga semprit 1 ml @ Rp 5.000,- maka biaya yang
dikeluarkan adalah
6.820.000 x Rp 5.000,- = Rp 34.100.000.000,-
Jadi total biaya yang harus dikeluarkan per tahun =
Rp 7.045.060.000,- + Rp 34.100.000.000,- = Rp
41.145.060.000,-
- Sedangkan untuk sediaan tablet 10 mg dengan tiga kali pemberian adalah: ( 6.820.000 x 3 pemberian ) x Rp 735,- = Rp. 15.038.100.000,-
Bila penderita
PDVK diperkirakan 1 per 1200 kelahiran hidup maka bayi yang menderita PDVK
adalah 5683, maka jumlah kematian karena PDVK adalah 20% dari 5683 yaitu 1136
maka:
Number Needed to Treat (NNT) = 6.820.000/1136 = 6003 (~ 6000)
NNT = 6000 berarti bahwa:
·
Untuk mencegah 1 kematian karena PDVK harus
diberikan profilaksis kepada 6000 bayi baru lahir,
·
Bila diterjemahkan dalam biaya, maka untuk
mencegah 1 kematian akibat PDVK diperlukan biaya sebesar Rp (5000+1000) x 6000
= Rp. 36.000.000,- bila diberikan secara IM, atau sebesar Rp. 735 x 6000 = Rp.
4.410.000,- bila diberikan secara oral.
Hal di atas tidak termasuk
biaya transportasi, distribusi, penyimpanan dan aspek logistik lain.
Bab VI
REKOMENDASI
Dari analisis di atas maka bersama ini
diajukan rekomendasi sebagai berikut:
1.
Semua bayi baru lahir harus mendapat profilaksis
vitamin K1. (Rekomendasi A)
2.
Jenis vitamin K yang digunakan adalah vitamin K1.
(Rekomendasi A)
3.
Cara pemberian vitamin K1 adalah
secara intramuskular atau oral. (Rekomendasi A)
4.
Dosis yang diberikan untuk semua bayi baru lahir
adalah:
·
Intramuskular, 1 mg dosis tunggal atau
·
Oral, 3 kali @2 mg, diberikan pada waktu bayi
baru lahir, umur 3-7 hari, dan pada saat bayi berumur 1-2 bulan.
(Rekomendasi A)
5.
Untuk bayi yang lahir ditolong oleh dukun maka
diwajibkan pemberian profilaksis vitamin K1 secara oral.
(Rekomendasi C)
6.
Kebijakan ini harus dikoordinasikan bersama
Direktorat Pelayanan Farmasi dan Peralatan dalam penyediaan vitamin K1 dosis
injeksi 2 mg/ml/ampul, vitamin K1 dosis 2 mg/tablet yang dikemas
dalam bentuk strip 3 tablet atau kelipatannya.
(Rekomendasi C)
7.
Profilaksis vitamin K1 pada bayi baru
lahir dijadikan sebagai program nasional.
(Rekomendasi C)
DAFTAR PUSTAKA
1.
Isarangkura P. Vitamin K prophylaxis in newborn babies. J Paedtr Obstet
Gynecol 1991;17:5-9.
2.
Chuansumrit A, Isarangkura P, Hathirat P. Vitamin K
deficiency bleeding in Thailand: a 32 year history. Southeast Asian J Trop Med
Public Health 1998;29:649-54.
3.
National health and medical research council
Australia. Joint statement and recommendations on vitamin K to newborn infants
to prevent vitamin K deficiency bleeding in infancy. Oktober 2000. Didapat dari
URL: http://www.health. gov.au
/nhmrc/publications/pdf/ch39.pdf
4.
Fetus and Newborn Committee of The Paediatric
Society of New Zealand, The New Zealand College of Midwives, The New Zealand
Nurses Organisation, The Royal New Zealand College of General Practitioners,
The Royal Australian and New Zealand College of Obstetricians and
Gynaecologists. Vitamin K prophylaxis in the newborn. Prescriber Update
No.21:36-40. Didapat dari
5.
British Columbia Reproductive Care Program. Vitamin
K prophylaxis. Maret 2001. Didapat dari URL:http//www.rcp.gov.bc.ca/Guideline/Newborn/Master.Nb12.VitK.pdf
6.
Canadian Pediatric Society 2002. Vitamin K
injection – best prevention. Didapat dari: URL: http://www.cps.ca/english/CPSP/Effective/highlightspch.htm#/
VitaminKinjection
7.
Hey E. Vitamin K–what, why, and when. Arch Dis
Child Fetal Neonatal Ed. 2003;88:F80-3.
8.
Knight D. Vitamin K prophylaxis and haemorrhagic
disease of the newborn. Newborn Services Medical Guidelines. Januari 2000.
Didapat dari URL:http://www.adhb.govt.nz/newborn/MedicalGuidelines/VitaminK.htm
10.
Vanderbilt University Medical Center. Hemorrhagic
disease of the newborn. Didapat dari URL:http://www.nc.vanderbilt.edu/peds/pidl/gi/index.htm
11.
Shendurnikar N, Rana H, Gandhi DJ. Late Hemorrhagic
disease of the newborn. Indian Ped 2001;38:1198-9.
12.
Isarangkura PB, Chuansumrit A. Vitamin K deficiency
in infants. Hematology 1999 Educational Program and Scientific Supplement of
the IX Congress of the International Society of Haematology, Asian-Pacific
Division. Bangkok, Thailand. 1999:154-9.
13.
Lane AP, Hathaway EW. Vitamin K in infancy. J
Pediatr 1985;106:351-9.
14.
Marin JR. Development and disorders of organ
systems. Dalam: Fanaroff AA, Martin JR, penyunting. Neonatal-perinatal medicine
disease of the fetus and infant. Edisi ke-6. St Louis: Mosby;1997.h.1242-4.
15.
Moe PG, Seay AR. Neurologic and muscular disorders.
Dalam: Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, penyunting. Current’s pediatric: diagnosis
and treatment. Edisi ke-15. New York: McGraw-Hill Co; 2001. h. 636-65.
16.
von Kries R, Greer FR, Suttie JW. Assessment of
vitamin K status of the newborn infant. J Pediatr Gastroenterol Nutr 1993;16:
231-8.
17.
Pintadit P, Isarangkura PB, Chalermchandra K,
Pongcharoen S, Sasanakul W, Chulajat R, dkk. Vitamin K prophylaxis in the
neonates by oral route with different dosages. J Med Assoc Thai. 1989 Jan; 72
Suppl 1:125-9.
18.
Shendurnikar N, Rana H, Gandhi DJ. Late hemorrhagic
disease of the newborn. Indian Ped 2001;38:1198-9.
19.
Puckett Rm, Offringa M. Prophylactic vitamin K for
vitamin K deficiency bleeding in neonates (Cochrane Review). Dalam: The Cochrane
Library, 2002.
20.
Guideline for newborn administration of vitamin K.
Januari 2003. Didapat dari: URL:http://www.midwives.mb.ca/StandardsAndPolicies/Gdln-newbornAdminOfVitaminK.htm
21.
Vitamin K and the newborn. NEJM 1993;329:957-8.
22.
Wariyar U, Hilton S, Pagan J, Tin W, Hey E. Six
years’ experience of prophylactic of oral vitamin K. Arch Dis Child Fetal
Neonatal 2000;82:F64-8.
23.
Cornelissen M, von Kreis R, Loughnan P, Schubiger
G. Prevention of vitamin K deficiency bleeding: efficacy of different multiple
oral dose schedules of vitamin K. Eur J Pediatr 1997;156:126-30.
24.
Sutor AH, von Kries R, Cornelissen EA, McNinch AW,
Andrew M. Vitamin K deficiency bleeding (VKDB) in infancy. ISTH
Pediatric/Perinatal Subcommittee. International Society on Thrombosis and
Haemostasis. Thromb Haemost 199;81:456-61.
25.
American Academy of Pediatrics. Controversies
concerning vitamin K and the newborn. Pediatrics 1993;91:1001-3.
26.
Passmore SJ, Draper G, Brownbill P, Kroll M.
Case-control studies of relation between childhood cancer and neonatal vitamin
K administration. BMJ 1998;316:178-84.
27.
Passmore SJ, Draper G, Brownbill P, Kroll M.
Ecological studies of relation between hospital policies on neonatal vitamin K
administration and subsequent occurrence of childhood cancer BMJ
1998;316:184-9.
28.
von Kries R, Gobel U, Hachmeister A, Kaletsch U,
Michaelis J. Vitamin K and childhood cancer: a population based case-control
study in Lower Saxony, Germany.
29.
Draper G, McNinch A. Vitamin K for neonates: the
controversy. BMJ 1994;308; 867-8.
30.
Greer FR, Marshall SP, Severson RR, Smith DA,
Shearer MJ, Pace DG, dkk. A new mixed micellar preparation for oral vitamin K
prophylaxis: randomised controlled comparison with an intramuscular formulation
in breast fed infants. Arch Dis Child 1998;79:300-5.
31.
Zypursky A. Vitamin K at birth. BMJ
1996;313:179-80.
32.
Barton JS, Tripp JH, McNinch AW. Neonatal vitamin K
prophylaxis in the British Isles: current practice and trends. BMJ
1995;310:632-3.
33.
Croucher C, Azzopardi D. Compliance with
recommendations for giving vitamin K
to newborn infants. BMJ 1994;308:894-5.
PANEL AHLI
1.
Prof. DR. Dr. Moeslichan, MZ, SpA(K)
Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia (PHTDI)
Subbagian Hematologi, IKA, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta
2.
Prof. Dr. Achmad Surjono, PhD, SpA(K)
UKK Perinatologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI)
Bagian IKA, FK UGM-RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta
3.
Dr. M. Sholeh Kosim, SpA(K)
Ketua UKK Perinatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
Subbagian Perinatologi, IKA, FK UNDIP- RSU Dr. Karyadi
Semarang
4.
Dr. H. Djajadiman Gatot, SpA(K)
Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia (PHTDI)
Subbagian Hematologi, IKA, FKUI-RSUPN.Cipto Mangunkusumo
Jakarta
5.
Dr. Fatimah Indarso, Sp A(K)
UKK Perinatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
Bagian IKA, FK UNAIR-RSUP Dr. Soetomo
Surabaya
UNIT PENGKAJIAN TEKNOLOGI
KESEHATAN INDONESIA
1.
Prof. DR. Dr. Sudigdo Sastroasmoro, SpA(K)
Ketua
2.
Dr. Santoso Soeroso, SpA(K), MARS
Anggota
3.
Dr. Ratna Mardiati, SpKJ Anggota
4.
Dr. Wuwuh Utami, M Kes
Anggota
5.
Drg. Rarit Gempari, MARS Anggota
6.
Dr. Frida Soesanti
Anggota
7.
Dr. Nila Kusumasari
Anggota
Tidak ada komentar:
Posting Komentar