BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang Masalah
Homeostatis
seluler diatur oleh sistem saraf dan sistem endokrin. Kedua ini berhubungan
erat, khususnya di hipotalamus yang mengatur fungsi hipofisis dan sel – sel
neuro endokrin di tempat – tempat lain (sebelumnya dikenal dengan sistem Amine
Precursor Uptaking Dekarboxylation, APUD).
Aktivitas
beberapa organ endokrin, misalnya hipofisis diatur oleh adanya hormon – hormon
stimulator atau inhibitor yang dihasilkan di hipotalamus. Di tempat – tempat lain,
seperti korteks adrenal, hormon – hormon yang diproduksi kelenjar tersebut
menghambat sintesis hormon – hormon topik yang dilepas oleh hipotalamus dan
hipofisis, suatu proses dikenal sebagai hambatan umpan balik (feedback
inhibition). Secara umum, penyakit – penyakit sistem endokrin (endokrinopati)
ditandai dengan kelebihan atau kekurangan produksi hormon, yang klinisnya
berupa keadaan hipofungsi atau hiperfungsi. Gangguan – gangguan semacam ini
sering kali berkaitan dengan gangguan mekanis umpan balik.
Meskipun aturannya hanya salah satu
kelenjar saja yang menjadi sakit, tetapi endokrinopati yang ganda kadang –
kadang dapat dijumpai pada sindrom neuplasma endokringanda (MEN). Namun demikian
sebagian besar kelainan – kelainan endokrin yang muncul adalah dalam satu
kelenjar, seperti yang akan dibahas dalam makalah ini.
Hal – hal tersebut yang menjadi latar
belakang bagi penulis dalam pembuatan makalah ini sehingganya dapat menambah wawasan
dan pengetahuan selain untuk memenuhi tugas.
II.
Tujuan
A. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang
penyakit hipopituari serta asuhan keperawatan terhadap pasien dengan
hipopituari.
B. Tujuan Khusus
1.
Mengetahui
definisi hipopituitari.
2.
Mengetahui klasifikasi
dari hipopituitari.
3.
Mengetahu etiologi
dari hipopituitari.
4.
Mengetahui patofisiologi
hipopituitari.
5.
Mengetahu
manifestasi klinisnya.
6.
Mengetahui pemeriksaan
fisik pada pasien dengan penyakit hipopituitari.
7.
Mengetahui berbagai
jenis pemeriksaan penunjangnya.
8.
Mengetahui komplikasi
dari hipopituitari.
9.
Mengetahui penyakit yang dapat dijadikan sebagai diagnosa
banding pada hipopituitari.
10.
Mengetahui penatalaksanaan
terapinya.
11.
Mengetahui asuhan
keperawatan pada pasien dengan hipopituitari.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A.
DEFINISI
1. Hipofungsi
kelenjar hipofisis(hipopituitarisme) dapat terjadi akibat penyakit pada kelenjar
sendiri atau pada hipotalamus. (Robbins Cotran Kumar)
2. Hipopituitaris
memengacu kepada keadaan sekresi beberapa hormon hipofisis anterior yang sangat
rendah.(ElizabethC Erorwin)
3. Hipopituitarisme
adalah hiposekresi satu atau lebih hormon hipofise anterior. (Barbara C.
Long)
4. Hipopituitarisme
adalah disebabkan oleh macam – macam kelainan antara lain nekrosis, hipofisis
post partum(penyakit shecan), nekrosis karena meningitis basalis trauma
tengkorak, hipertensi maligna, arteriasklerosis serebri, tumor granulema dan
lain – lain (KapitaSelekta Edisi:2)
Pituitari
adalah kelenjar majemuk sekresi internal yang terletak di dalam sel tursika, yakni
suatu lekukan di dalam tulang sfenoid hipopituitarisme dapat desebabkan oleh
macam – macam kelainan kelamin antara lain nekrosis, hipofisis postpartura (penyakit
shecan), nekrosis karena meningitis basalis, trauma tengkorak, hipertensi maligna,
arteriasklerosis serebri, tumor granulema dan lain – lain.
Hipopituitarisme
adalah keadaan yang timbul sebagai akibat hipofungsi hipofisis. Definisi hormon
hipofisis anterior dapat terjadi dari 3 jalur :
- Kelainan di dalam kelenjar yang dapat merusak sel – sel sekretorik.
- Kelainan di dalam atau yang berdekatan dengan tangkai hipofise dimana dapat menyebabkan penghentian penyebaran faktor – faktor yang berasal dari hipotalamus.
- Kelainan di dalam hipotalamus sendiri dimana dapat merusak pelepasan bahan pengatur pada hipofise depan.
Enam
hormon yang sangat penting ditambah beberapa yang kurang disekresi oleh hipofise
anterior dan dua hormon yang penting disekresi oleh hipofise posterior. Hormon – hormon hipofisis anterior
memegang peranan utama mengatur fungsi metaboliosme di seluruh tubuh,
- Growth Hormon, meningaktkan pertumbuhan binatang dengan mempengaruhi banyak fungsi metabolisme di seluruh tubuh, khususnya pembentukan n.
- Adrenokortikotropin, mengatur sekresi beberapa hormon korteks
adrenal
yang selanjutnya mempengaruhi metabolisme glukosa, protein dan lemak. - Hormon perangsang tiroid, mengatur kecepatan sekresi tiroksin oleh kelenjar tiroid, mengatur kecepatan sekresi tiroksin oleh kelenjar tiroid dan tiroksin selanjutnya mengatur kecepatan sebagian besar reaksi – reaksi kimia seluruh tubuh.
- Prolaktin, meningkatkan perkembangan kelenjar mammae dan pembentukan susu dan dua hormon gonadotropin.
- Hormon perangsang folikel
- Hormon luteinisasi, mengatur pertumbuhan gonad serta aktivitas reproduksinya.
Dua hormon yang disekresi oleh hipofise
posterior memegang peranan lain:
- Hormon antideuretik, mengatur kecepatan ekskresi air ke
dalam urina dan
dengan cara ini membantu mengatur konsentrasi air dalam cairan tubuh. - Oksitosin :
- Mengkonsentrasikan
alveolus payudara, sehingga mambantu mengalirkan
susu dari kelenjar mammae ke puting susu salama penghisapan dan - Mengkonsentrasikan uterus jadi membantu melahirkan bayi kehamilan.
B. KLASIFIKASI
- Hipofisis Anterior (Adenohipofisis).
Merupakan kelenjar yang sangat vaskuler
dengan sinus - sinus kapiler yang luas diantara sel – sel kelenjar, 0,6 gr dan diameternya sekitar 1 cm
sekresi hipofisis anterior diatur oleh hormon yang dinamakan
”releasing dan inhibitory hormones (atau factor) hipotalamus” yang disekresi dalam hipotalamus sendiri dan kemudian dihantarkan kehipofisis anterior melaui pembuluh darah kecil yang dinamakan pembuluh partal hipotalamik hipofisial.
”releasing dan inhibitory hormones (atau factor) hipotalamus” yang disekresi dalam hipotalamus sendiri dan kemudian dihantarkan kehipofisis anterior melaui pembuluh darah kecil yang dinamakan pembuluh partal hipotalamik hipofisial.
Jenis sel hipofisis anterior
Kelenjar
hipofisis anterior terdiri atas beberapa jenis sel. Pada umumnya terdapat satu
jenis sel untuk setiap jenis hormon yang dibentuk pada kelenjar ini, dengan
teknik pewarnaan khusus berbagai jenis
sel ini dapat dibedakan satu sama lain. Satu – satunya kemungkinan pengecualiannya adalah sel dari jenis yang sama
mungkin menyekresi hormon liuteinisasi dan hormon perangsang folikel.
Berdasarkan ciri – ciri pewarnaannya, sel
– sel hipofise anterior dibedakan ke dalam 3 kelompok klasik: Kromofobik (tanpa
granul), Eosinofilik dan Basofilik.
Sel – sel eosinfilik dianggap bertanggung jawab
untuk sekresi yaitu:
a. ACTH
(Adrenocorticotropic Hormon), merangsang biosintesis dan pelepasan kortisol
oleh korteks adrenal.
b. Hormon
perangsang tiroid / TSH (Thyroid – Stimulating Hormon : tirotropin), merangsang
uptake yodida dan sintesis serta pelepasan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid.
c. Hormon
perangsang folikel / FSH (Follicte – Stimulating Hormon) merangsang
perkembangan folikel de graaf dan sekresi hormon esterogen dan ovarium serta
spermatogenesis pada testis.
d. Hormon
Luteinisasi (LH) mendorong ovulasi dan luteinasi folikel yang sudah masak di
dalam ovarium. Pada laki – laki hormone ini, yang dahulunya disebut hormon
perangsang sel interstisialis (ICSH=Interfisial Cell Stimulating Hormon), merangsang
produksi dan pelepasan testosteron oleh sel – sel leydig di testis.
e. Prolaktrin
(PRL) merangsang sekresi air susu oleh payudara ibu setelah melahirkan.
f. Pengendalian
sekresi hipofisis anterior.
Sistem rangkap (dual
system) yang mengendalikan sekresi hormon hipofise anterior melalui 2 mekanisme
kontrol antara lain :
a.
Umpan balik
negatif, dimana hormon dari kelenjar sasaran yang bekerja pada tingakat
hipofise/hipotalamus menghambat sekresi hormon trofiknya.
b.
Pengendalian
oleh hormon – hormon hipotalamus yang berasal dari sel – sel neuronai di dalam
atau di dekat eminensia medialis dan disekresikan ke sirkulasi partai hipofise
- Hipofisis Posterior (Neurohipofisis)
Kelenjar
hipofisis posterior terutama terdiri atas sel – sel glia yang disebut pituisit.
Namun pituisit ini tidak mensekresi hormon, sel ini hanya bekerja sebagai
struktur penunjang bagi banyak sekali ujung – ujung serat saraf dan bagian terminal
akhir serat dari jaras saraf yang berasal dari nukleus supraoptik dan nukleus
paraventrikel hipotalamus.
Jaras
saraf ini berjalan menuju ke neurohipofisis melalui tangkai hipofisis, bagian
akhir saraf ini merupakan knop bulat yang mengandung banyak granula – granula
sekretonik, yang terletak pada permukaan kapiler tempat granula – granula
tersebut mensekresikan hormone hipofisis posterior berikut :
Hormon antidiuretik
(ADH) yang juga disebut sebagai vasopresin yaitu senyawa oktapeptida yang
merupakan produk utama hipofise posterior. Memainkan peranan fisiologik yang
penting dalam pengaturan metabolisme air.
Kerja ADH untuk mempertahankan jumlah air tubuh terutama terjadi pada sel –
sel ductus colligens ginjal. ADH mengerahkan kemampuannya yang baik untuk
mengubah permeabilitas membran sel epitel sehingga meningkatkan keluarnya air
dari tubulus ke dalam cairan hipertonik diruang pertibuler/interstisial.
Aktivitas
ADH dan rasa haus yang saling terintigritas itu sangat efektif untuk mempertahankan
osmolaritas cairan tubuh dalam batas – batas yang sangat sempit.
3. Hipofisis
Pars Intermedus
Berasal
dari bagian dorsal kantong Rathke yang menjadi satu dengan hipofisis posterior.
Pars intermedus mengeluarkan hormon MSH (melanocyte stimulating hormon)
melanotropin = intermedian. MSH terdiri dari sub unit alfa dan sub untui beta,
beta MHS lebih menentukan khasiat hormon tersebut. Pada manusia, pars
intermedus sangat rudimeter sehingga pada orang dewasa tidak ada bukti bahwa
MSH dihasilkan oleh bagian ini. Beta MSH memiliki struktur kimia yang mirip
dengan ACTH (adreno cortico tropic hormon), sehingga ACTH memiliki khasiat
seperti MSH.
C. ETIOLOGI
Hipopiutuitarisme dapat
terjadi akibat malfungsi kelenjar hipofisis atau hipotalamus. Penyebabnya menyangkut
:
1. Infeksi atau peradangan oleh : jamur, bakteri
piogenik.
2. Penyakit autoimun (Hipofisis limfoid autoimun)
3. Tumor, misalnya dari sejenis sel penghasil
hormon yang dapat mengganggu pembentukan salah satu atau semau hormon lain.
4. Umpan balik dari organ sasaran yang mengalamai
malfungsi. Misalnya, akan terjadi penurunan sekresi TSH dari hipofisis apabila
kelenjar tiroid yang sakit mengeluarkan HT dalam kadar yang berlebihan.
5. Nekrotik hipoksik (kematian akibat kekurangan
O2) hipofisis atau oksigenasi dapat merusak sebagian atau semua sel
penghasil hormon. Salah satunya sindrom sheecan, yang terjadi setelah perdarahan
maternal.
D.
PATOFISIOLOGI
Penyebab
hipofungsi hipofise dapat bersifat primer dan sekunder. Primer
bila gangguannya terdapat pada kelenjar hipofise itu sendiri, dan sekunder bila
terdapat pada hipotalamus. Penyebab tersebut termasuk diantaranya: (Hotma
Rumahorbo. 1999:38)
1. Defek
perkembangan konginetal, seperti pada dwarfisme
pituitari.
2. Tumor
yang merusak hipofise.
3. Iskemia,
seperti pada nekrosis postpartum.
Hipopituitari pada orang dewasa dikenal sebagai (penyakit Simmonds’) yang ditandai dengan kelemahan umum, intoleransi
terhadap dingin, nafsu makan buruk, penurunan berat badan,dan hipotensi.Wanita
yang terserang penyakit inio tidak akan mengalami menstruasi dan pada pria akan
menderita impotensi dan kehilangan libido. Insufisiensi hipofise pada anak-anak
akan mengakibatkan dwarfisme.
Diabetes insipidus ditandai dengan kurangnya ADH sekunder terhadap lesi
yang menghancurkan hipotalamus, stalk hipofise, atau hipofise posterior.
Kondisi ini dapat disebabkan oleh tumor, infeksi otak atau meningen. Diabetes
insipidus dikelompokkan menjadi nefrogenik
(diabetesinsipidus yang terjadi secara herediter di mana tubulus ginjal tidak
berespon secara tepat terhadap ADH, sementara kadar hormon dalam serum normal.Insufisiensi
hipotalamus membutuhkan terapi penggantian hormon yang sesuai. Tetapi
penggantian dengan ADH menunjukkan hasil yang efektif dalam mengobati diabetes
insipidus.
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Sakit kepala dan gangguan penglihatan atau
adanya tanda – tanda tekanan intara kranial yang meningkat.
2. Gambaran
dari produksi hormon pertumbuhan yang berlebih termasuk akromegali (tangan dan
kaki besar demikian pula lidah dan rahang), berkeringat banyak, hipertensi dan
artralgia (nyeri sendi).
3. Hiperprolaktinemia
: amenore atau oligomenore galaktore (30%), infertilitas pada wanita, impotensi
pada pria.
4. Sindrom Chusing
: obesitas sentral, hirsutisme, striae, hipertensi, diabetesmilitus,
osteoporosis.
5. Defisiensi
hormone pertumbuhan : (Growt Hormon = GH) gangguan pertumbuhan pada anak –
anak.
6. Defisiensi
Gonadotropin : impotensi, libido menurun, rambut tubuh rontok pada pria,
amenore pada wanita.
7. Defisiensi TSH : rasa lelah, konstipasi, kulit
kering gambaran laboratorium dari hipertiroidism.
8. Defisiensi Kortikotropin : malaise, anoreksia,
rasa lelah yang nyata, pucat, gejala – gejala yang sangat hebat selama
menderita penyakit sistemik ringan biasa, gambaran laboratorium dari penurunan
fungsi adrenal.
9. Defisiensi Vasopresin : poliuria,
polidipsia, dehidrasi, tidak mampu memekatkan urin.
F. PEMERIKSAAN FISIK
1.
Pemeriksaan
Fisik
a. Inspeksi :
Amati bentuk dan ukuran tubuh, ukur BB dan TB,
amati bentuk dan ukuran buah dada, pertumbuhan rambut axila dan pubis pada
klien pria amati pula pertumbuhan rambut wajah (jenggot dan kumis)
b. Palpasi: Palpasi kulit, pada wanita biasanya
menjadi kering dan kasar.
Tergantung pada penyebab hipopituitary, perlu juga
dikaji data lain sebagai data penyerta seperti bila penyebabnya adalah tumor
maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap fungsi serebrum dan fungsi nervus
kranialis dan adanya keluhan nyeri kepala.
2. Kaji pula dampak perubahan fisik terhadap
kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
3. Data penunjang dari hasil pemeriksaan diagnostik
seperti :
a. Foto kranium untuk melihat pelebaran dan atau
erosi sella tursika.
b. Pemeriksaan serum darah : LH dan FSH GH, prolaktin,
alsdosteron, testosteron, kartisol, androgen, test stimulasi yang mencakup uji
toleransi insulin dan stimulasi tiroid releasing hormon.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorik. Pengeluaran 17
ketosteroid dan 17 hidraksi kortikosteroid dalam urin menurun, BMR menurun.
2. Pemeriksaan Radiologik /
Rontgenologis Sella Tursika
a. Foto polos kepala
b. Poliomografi
berbagai arah (multi direksional)
c. Pneumoensefalografi
d. CT
Scan
e. Angiografi
serebral
3. Pemeriksaan
Lapang Pandang
a. Adanya
kelainan lapangan pandang mencurigakan
b. Adanya tumor hipofisis yang
menekan kiasma optik
4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan kartisol, T3 dan T4,
serta esterogen atau testosteron
b. Pemeriksaan ACTH, TSH, dan LH
c. Tes provokasi dengan menggunakan stimulan
atau supresan hormon, dan dengan melakukan pengukuran efeknya terhadap kadar
hormon serum.
d. Tes provokatif.
H. KOMPLIKASI
1. Kardiovaskuler.
a. Hipertensi.
b. Tromboflebitis.
c. Tromboembolisme.
d. Percepatan
uterosklerosis.
2. Imunologi.
Peningkatan
resiko infeksi dan penyamaran tanda
– tanda infeksi.
3. Perubahan mata.
a. Glaukoma.
b. Lesi kornea.
4. Muskuloskeletal.
a. Pelisutan otot.
b. Kesembuhan luka yang jelek.
c. Osteoporis
dengan fraktur kompresi vertebra, fraktur patologik tulang panjang, nekrosis
aseptik kaput femoris.
5. Metabolik.
Perubahan pada metabolisme glukosa sindrome
penghentian steroid.
6. Perubahan penampakan.
a. Muka seperti bulan (moon face).
b. Pertambahan berat badan.
c. Jerawat.
I. DIAGNOSIS
1. Gangguan hipotalamus.
2. Penyakit
organ ’target’ seperti gagal tiroid primer, penyakit Addison atau gagal gonadal
rimer.
3. Penyebab
sindrom chusinglain termasuk tumor adrenal, sindrome ACTH ektopik.
4. Diabetes
insipiduspsikogenik atau nefrogenik.
5. Syndrom
parkinson
J. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Kausal.Bila disebabkan oleh tumor, umumnya dilakukan
radiasi. Bila ada gejala – gejala tekanan oleh tumor progresif dilakukan operasi.
2. Terapi Substitusi
a. Hidrokortison antara 20 – 30 mg
sehari diberikan per–os, umumnya disesuaikan dengan siklus harian sekresi
steroid yaitu 10 – 15 mg waktu pagi, 10 mg waktu malam. Prednison dan
deksametason tidak diberikan karena kurang menyebabkan retensi garam dan air,
bila terdapat stres (infeksi, operasi dan lain - lain), dosis oral dinaikkan
atau diberikan parenteral. Bila terjadi krisis adrenal atasi syok segera dengan
pemberian cairan per-infus NaCl-glukosa, steroid dan vasopreses.
b. Puluis tiroid / tiroksin diberikan
setelah terapi dengan hidrokortison.
c. Testosteron pada penderita laki –
laki berikan suntikan testosteron enantot atau testosteron siprionat 200 mg intramuskuler
tiap 2 minggu. Dapat juga diberikan fluoxymestron 10 mg per-os tiap hari.
d. Esterogen diberikan pada wanita
secara siklik untuk mempertahankan siklus haid. Berikan juga androgen dosis
setengah dosis pada laki – laki hentikan bila ada gejala virilisasi ’’growth
hormone’’ bila terdapat dwarfisme.
3. Tumor hipofisis, diobati dengan pembedahan
radioterapi atau obat (misal : akromegali dan hiperprolaktinemia dengan hymocriptine).
4. Beberapa cara pengobatan sering dilakukan. Defisiensi hormon diobati
sebagai berikut : penggantian GH untuk defisiensi GH pada anak – anak, tiroksin
dan kortison untuk defisiensi TSH dan ACTH, penggantian androgen atau esterogen
untuk defisiensi gonadotropin sendiri (isolated) dapat diobati dengan penyuntikan
FSH atau HCG.
5. Desmopressin
dengan insuflasi masal dalam dosis terukur.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
HIPOPITUITARI
A. PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan pada klien dengan kelainan
ini antara lain mencakup: (Hotma Rumahorbo, 1999:39)
1. Riwayat penyakit masa lalu . Adakah penyakit
atau trauma pada kepala
yang pernah diderita klien, serta riwayat radiasi pada kepala.
yang pernah diderita klien, serta riwayat radiasi pada kepala.
2. Sejak kapan keluhan diarasakan. Dampak defisiensi GH mulai tampak pada masa
balita sedang defisiensi gonadotropin nyata pada masa praremaja.
3. Apakah keluhan terjadi sejak lahir. Tubuh kecil dan
kerdil sejak lahir
terdapat pada klien kretinisme.
terdapat pada klien kretinisme.
4. Berat dan tinggi badan saat lahir atau kaji
pertumbuhan fisik klien. Bandingkan perumbuhan anak dengan standar.
5. Keluhan utama
klien:
a. Pertumbuhan
lambat.
b. Ukuran otot dan tulang kecil.
c. Tanda – tanda seks sekunder tidak berkembang,
tidak ada rambut pubis dan rambut axila, payudara tidak tumbuh, penis tidak
tumbuh, tidak mendapat haid, dan lain – lain.
d. Interfilitas.
e. Impotensi.
f. Libido menurun.
g. Nyeri senggama pada wanita.
6. Pemeriksaan fisik
a. Amati bentuk dan ukuran tubuh,
ukur BB
dan TB, amati bentuk dan ukuran buah dada, pertumbuhan rambut axila dan pubis pada klien pria amati pula pertumbuhan rambut wajah (jenggot dan kumis).
dan TB, amati bentuk dan ukuran buah dada, pertumbuhan rambut axila dan pubis pada klien pria amati pula pertumbuhan rambut wajah (jenggot dan kumis).
b. Palpasi kulit, pada wanita biasanya
menjadi kering dan kasar.
Tergantung pada penyebab hipopituitary, perlu juga
dikaji data lain sebagai data penyerta seperti bila penyebabnya adalah tumor
maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap fungsi serebrum dan fungsi nervus
kranialis dan adanya keluhan nyeri kepala.
7. Kaji pula dampak perubahan fisik terhadap
kemapuan klien dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
8. Data penunjang dari hasil pemeriksaan diagnostik
seperti :
a. Foto kranium untuk melihat
pelebaran dan atau erosi sella tursika.
b. Pemeriksaan serta serum darah : LH
dan FSH GH, androgen, prolaktin, testosteron, kartisol, aldosteron, test stimulating
yang mencakup uji toleransi insulin dan stimulasi tiroid releasing
hormone.
hormone.
B. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Diagnosis keperawatan yang
dapat dijumpai pada klien hipopituitari adalah : (Hotma Rumahorbo. 1999:46)
1. Gangguan
citra tubuh yang b.d perubahan struktur tubuh dan fungsi tubuh akibat
defisiensi gonadotropin dan defisiensi hormon pertumbuhan.
2. Koping individu tak efektif b.d kronisitas
kondisi penyakit.
3. Harga diri renda b.d perubahan penampilan
tubuh.
4. Gangguan persepsi sensori (penglihatan) b.d
gangguan transmisi impuls sebagai akibat penekanan tumor pada nervus optikus.
5. Ansietas b.d ancaman atau perubahan status
kesehatan.
6. Defisit perawatan diri b.d menurunnya
kekuatan otot.
7. Resiko gangguan integritas kulit
(kekeringan) b.d menurunnya kadar hormonal.
C. INTERVENSI
Secara umum tujuan yang diharapakan dari perawatan klien dengan
hipofungsi hipofisis adalah: (Hotma
Rumahorbo. 1999:47)
1. Klien memiliki kembali citra tubuh yang positif dan harga diri
yang tinggi.
2. Klien dapat berpartisipasi aktif dalam program pengobatan.
3. Klien dapat memenuhi
kebutuhan hidup sehari – hari.
4. Klien bebas dari rasa
cemas.
5. Klien terhindar dari
komplikasi.
1. Dx
: Gangguan Citra Tubuh yang Berhubungan dengan Perubahan Struktur Tubuh dan
Fungsi Tubuh Akibat Defisiensi Gonadotropin dan Defisiensi
Hormon Pertumbuhan.
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan, klien memiliki kembali citra tubuh yang positif
dan harga diri yang tinggi. Kriteria Hasil :
1.
Melakukan kegiatan penerimaan, penampilan misalnya: kerapian, pakaian,
postur tubuh, pola makan, kehadiran diri.
2. Penampilan dalam perawatan diri / tanggung jawab peran.
Intervensi :
1.
Dorong individu untuk mengekspresikan perasaan.
R/ Kita dapat mengkaji sejauh mana tingkat penolakan terhadap
kenyataan akan kondisi fisik tubuh, untuk mempercepat teknik penyembuhan /
penanganan.
2.
Dorong individu untuk bertanya mengenai masalah,
penanganan, perkembangan, prognosa kesehatan.
R/ Dengan mengetahui
proses perjalanan penyakit tersebut maka klien secara bertahap akan mulai
menerima kenyataan.
3. Tingkatkan komunikasi terbuka, menghindari
kritik / penilaian tentang perilaku klien.
R/ Membantu untuk tiap
individu untuk memahami area dalam program sehingga salah pemahaman tidak
terjadi.
4. Berikan kesempatan berbagi rasa dengan individu
yang mengalami pengalaman yang sama.
R/ Sebagai problem
solving
5.
Bantu staf
mewaspadai dan menerima perasaan sendiri bila merawat pasienlain.
R/ Perilakumenilai,
perasaan jijik, marah dan aneh dapat mempengaruhi perawatan /ditransmisikan
pada klien, menguatkan harga negatif / gambaran.
2. Dx : Koping Individu Tak Efektif
berhubungan dengan Kronisitas Kondisi Penyakit.
Tujuan : Setelah
dilakuan tindakan keperawatan tingkat koping individu meningkat.
Kriteria Hasil :
1. Mengungkapkan perasaan
yang berhubungan dengan keadaan emosional.
2. Mengidentifikasi
pola koping personal dan konsekuensi perilaku yang diakibatkan.
3. Mengidentifikasi
kekuatan personal dan menerima dukungan melalui hubungan keperawatan.
4. Membuat
keputusan dan dilanjutkan dengan tindakan yang sesuai/ mengubah situasi
provokatif dalam lingkungan personal.
Intervensi
:
1.
Kaji status koping individu yang ada.
R/ Meningkatkan proses interaksi sosial karena klien mengalami peningkatan
komunikatif.
2.
Berikan dukungan jika individu berbicara.
R/ Klien meningkatkan
rasa percaya diri kepada orang lain.
3.
Bantu individu untuk memcahkan masalah (problem
solving).
R/ Dengan
berkurangnya ketegangan, ketakutan klien akan menurun dan tidak mengucil /mengisolasikan diri dari
lingkungan.
4.
Instruksikan
individu untuk melakukan teknis relasi, dalam proses teknik pembelajaran
penatalaksanaan stress.
R/ Ketepatan penanganan dan proses
penyembuhan.
5.
Kolaborasi
dengan tenaga ahli psikologi untuk proses penyuluhan.
R/ Klien mengerti
tentang penyakitnya.
3. Dx : Harga diri Rendah berhubungan
dengan Perubahan Penampilan Tubuh.
Tujuan : Setelah dilakukan
tindakan keperawatan harga diri meningkat.
Kriteria hasil :
1. Mengungkapkan hasil
perasaan dan pikiran mengenai diri.
2. Mengidentifikasikan dua atributif positif mengenai diri.
Intervensi :
1.
Bina hubungan saling percaya perawat dan klien.
R/ Rasa percaya diri
meningkat, pasien menerima kenyataan akan penampilan tubuh.
2.
Tingkatkan interaksi sosial.
R/ Pasien akan merasa
berarti, dihargai, dihormati, serta diterima olehnlingkungan.
3.
Diskusikan harapan / keinginan / perasaan.
R/ Dengan cara pertukaran pengalaman perasaan akan lebih mampu dalam
mencegah faktor penyebab terjadinya harga diri rendah.
4.
Rujuk kepelayanan pendukung.
R/ Memberikan tempat
untuk pertukaran masalah dan pengalaman yang sama.
4. Dx
: Gangguan Persepsi Sensori (Penglihatan) berhubungan dengan Kesalahan Interpertasi Sekunder,
Gangguan Transmisi, Impuls.
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan penglihatan berangsur –
angsur membaik.
angsur membaik.
Kriteria Hasil :
1. Menunjukkan tanda
adanya penurunan gejala yang menimbulkan gangguan persepsi sensori
2. Mengidentifikasi dan
menghilangkan faktor resiko jika mungkin.
3. Menggunakan
rasionalisasi dalam tindakan penanganan.
Intervensi :
1.
Kurangi penglihatan
yang berlebih.
R/ Mengurangi tingkat
ketegangan otot mata, meningkatkan relaksasi mata.
2.
Orientasikan
terhadap keseluruhan 3 bidang (orang, tempat, waktu).
R/ Untuk mengetahui
faktor penyebab melalui tes sensori indera penglihatan.
3.
Sediakan
waktu untuk istirahat bagi klien tanpa gangguan.
R/ Meningkatkan kepekaan
indera penglihatan melalui stimulus indera khususnya penglihatan.
4.
Gunakan berbagai metode untuk menstimulasi indera.
R/ Mempertahankan normalitas
melalui waktu lebih muda bila tidak mampu menggunakan penglihatan.
5. Dx : Ansietas
berhubungan dengan Perubahan Status Kesehatan.
Tujuan : Ansietas berhubungan
dengan perubahan status kesehatan berkurang.
Kriteria hasil :
1. Peningkatan kenyaman
psikologis dan fsikologis.
2. Menggambarkan ansietas
dan polakopingnya.
Intervensi :
1.
Bina
hubungan saling percaya.
R/ Komunikasi terapeutik
dapat memudahkan tindakan.
2.
Catat respon verbal non verbal pasien.
R/ Mengetahui perasaan
yang sedang dialami klien.
3.
Berikan aktivitas
yang dapat menurunkan ketegangan.
R/ Kondisi rileks dapat
menurunkan tingkat ancietas.
4.
Jadwalkan
istirahat adekuat dan periode menghentikan tidur.
R/ Mengatasi kelemahan,
menghemat energi dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
6. Dx
: Defisit Perawatan Diri berhubungan dengan Menurunnya Kekuatan Otot.
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan klien dapat aktif dalam
aktifitas perawatan diri. Kriteria hasil :
aktifitas perawatan diri. Kriteria hasil :
1. Mengidentifikasi
kemampuan aktifitas perawatan diri.
2. Melakukan kebersihan
optimal setelah bantuan dalam perawatan diberikan.
3. Berpartisipasi secara
fisik / verbal dalam aktifitas, perawatan diri / pemenuhan kebutuhan dasar.
Intervensi :
1.
Kaji faktor penyeba menurunnya defisit perawatan diri.
R/ Menghambat faktor penyebab dapat meningkatkan
perawatan diri.
2.
Tingkatkan partisipasi optimal.
R/ Partisipasi
optimal dapat memaksimalkan perawatan diri.
3.
Evaluasi
kemampuan untuk berpartisipasi dalam setiap aktivitas perawatan.
R/ Dapat
menumbuhkan rasa percaya diri klien.
4.
Beri dorongan untuk mengexpresikan perasaan tentang
kurang perawatan diri.
R/ Dapat memberikan
kesempatan pada klien untuk melakukan perawatan diri.
7. Dx
: Resiko Gangguan Integritas Kulit (Kekeringan) berhubungan dengan Menurunnya Kadar Hormonal.
Tujuan : Setelah dilakukan
keperawatan integritas kulit dalam kondisi normal.
Kriteria hasil :
1. Mengidentifikasi
faktor penyebab.
2. Berpartisipasi dalam
rencana pengobatan yang dilanjutkan untuk meningkatkan penyembuhan luka.
3. Menggambarkan etiologi
dan tindakan pencegahan.
4. Memperlihatkan
integritas kulit bebas dari luka tekan.
Intervensi :
1.
Pertahankan
kecukupan masukan cairanuntuk hidrasi yang adekuat.
R/ Mengurangi ketidaknyamanan
yang dihubungkan dengan membran mukosa yang kering dan untuknrehidrasi.
2.
Berikan dorongan latihan rentang gerak dan mobilisasi.
R/ Meningkatkan pemeliharaan
fungsi otot / sendi.
3.
Ubah posisi
atau mobilisasi.
R/ Meningkatkan posisi
fungsional pada ekstrimitas.
4.
Tingkatkan
masukan karbohidrat dan protein untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen
positif.
R/ Kelemahan dan
kehilangan pengaturan metabolisme terhadap makanan dapat mengakibatkan malnutrisi.
5.
Pertahankan
tempat tidur sedatar mungkin.
R/ Posisi datar menjaga
keseimbangan tubuh dan mencegah retensi cairan pada daerah tertentu sehingga
tidak terjadi edema lokal.
BAB IV
PENUTUP
Jadi, hipopituitarisme
adalah keadaan yang timbul sebagai akibat hipofungsi hipofisis. Hipofungsi
hipofise jarang terjadi, namun dapat saja terjadi dalam setiap kelompok usia.
Kondisi ini dapat mengenai semau sel
hipofise (panhipopituarisme) atau
hanya sel-sel trtentu, terbatas pad satu subset sel-sel hipofise anterior atau
sel-sel hipofise posterior. Hipopituarisme ini disebabkan oleh infeksi atau peradangan, penyakit autoimun, tumor,
umpan balik dari organ sasaran yang mengalamai malfungsi, nekrotik hipoksik (kematian akibat kekurangan O2)
hipofisis. Hipopituitari ini ditandai dengan adanya sakit kepala dan gangguan
penglihatan, produksi hormon pertumbuhan yang berlebih, hiperprolaktinemia,
sindrom chusing, defisiensi hormone pertumbuhan, defisiensi gonadotropin, defisiensi tsh, defisiensi kortikotropin, defisiensi
vasopresin. Yang penatalaksanaan dari penyakit ini adalah kolaborasi dengan
dokter dalam pemberian obat-obat hormonal sampai dengan operasi bila ada gejala
– gejala tekanan oleh tumor progresif
Secara umum tujuan yang diharapakan dari perawatan klien
dengan hipofungsi hipofisis/hipopituitari ini adalah:
1. Klien memiliki kembali citra tubuh yang positif dan harga diri
yang tinggi.
2. Klien dapat berpartisipasi aktif dalam program pengobatan.
3. Klien dapat memenuhi
kebutuhan hidup sehari – hari.
4. Klien bebas dari rasa
cemas.
5. Klien terhindar dari
komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Marilynn E.1999. Rencana Asuhan Keperawatan.Edisi
3. Jakarta: EGC.
Price,Sylvia.A
dan Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses – Proses Penyakit.Jakarta: EGC
Rumahorbo, Hotma. 1999. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Endokrin. Jakarta:
EGC
syariar-yusrina.blog.friendster.com
freco-demon.blog.friendster.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar