Tolong Klik Disini Untuk Membantu Saya Membeli Roti Setiap Harinya!

ASKEP HIPOPITUITARISME


BAB I
PENDAHULUAN 

I.          Latar Belakang Masalah
              Homeostatis seluler diatur oleh sistem saraf dan sistem endokrin. Kedua ini berhubungan erat, khususnya di hipotalamus yang mengatur fungsi hipofisis dan sel – sel neuro endokrin di tempat – tempat lain (sebelumnya dikenal dengan sistem Amine Precursor Uptaking Dekarboxylation, APUD).
Aktivitas beberapa organ endokrin, misalnya hipofisis diatur oleh adanya hormon – hormon stimulator atau inhibitor yang dihasilkan di hipotalamus. Di tempat – tempat lain, seperti korteks adrenal, hormon – hormon yang diproduksi kelenjar tersebut menghambat sintesis hormon – hormon topik yang dilepas oleh hipotalamus dan hipofisis, suatu proses dikenal sebagai hambatan umpan balik (feedback inhibition). Secara umum, penyakit – penyakit sistem endokrin (endokrinopati) ditandai dengan kelebihan atau kekurangan produksi hormon, yang klinisnya berupa keadaan hipofungsi atau hiperfungsi. Gangguan – gangguan semacam ini sering kali berkaitan dengan gangguan mekanis umpan balik.
              Meskipun aturannya hanya salah satu kelenjar saja yang menjadi sakit, tetapi endokrinopati yang ganda kadang – kadang dapat dijumpai pada sindrom neuplasma endokringanda (MEN). Namun demikian sebagian besar kelainan – kelainan endokrin yang muncul adalah dalam satu kelenjar, seperti yang akan dibahas dalam makalah ini.
Hal – hal tersebut yang menjadi latar belakang bagi penulis dalam pembuatan makalah ini sehingganya dapat menambah wawasan dan pengetahuan selain untuk memenuhi tugas.

  
  II.     Tujuan
A.    Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang penyakit hipopituari serta asuhan keperawatan terhadap pasien dengan hipopituari.
B. Tujuan Khusus
1.             Mengetahui definisi hipopituitari.
2.             Mengetahui klasifikasi dari hipopituitari.
3.             Mengetahu etiologi dari hipopituitari.
4.             Mengetahui patofisiologi hipopituitari.
5.             Mengetahu  manifestasi klinisnya.
6.             Mengetahui pemeriksaan fisik pada pasien dengan penyakit hipopituitari.
7.             Mengetahui berbagai jenis pemeriksaan penunjangnya.
8.             Mengetahui komplikasi dari hipopituitari.
9.             Mengetahui  penyakit yang dapat dijadikan sebagai diagnosa banding pada hipopituitari.
10.         Mengetahui penatalaksanaan terapinya.
11.         Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan hipopituitari.






BAB II
TINJAUAN TEORI

A.      DEFINISI
1.    Hipofungsi kelenjar hipofisis(hipopituitarisme) dapat terjadi akibat penyakit pada kelenjar sendiri atau pada hipotalamus. (Robbins Cotran Kumar)
2.    Hipopituitaris memengacu kepada keadaan sekresi beberapa hormon hipofisis anterior yang sangat rendah.(ElizabethC Erorwin)
3.    Hipopituitarisme adalah hiposekresi satu atau lebih hormon hipofise anterior. (Barbara C. Long)
4.    Hipopituitarisme adalah disebabkan oleh macam – macam kelainan antara lain nekrosis, hipofisis post partum(penyakit shecan), nekrosis karena meningitis basalis trauma tengkorak, hipertensi maligna, arteriasklerosis serebri, tumor granulema dan lain – lain (KapitaSelekta Edisi:2)
Pituitari adalah kelenjar majemuk sekresi internal yang terletak di dalam sel tursika, yakni suatu lekukan di dalam tulang sfenoid hipopituitarisme dapat desebabkan oleh macam – macam kelainan kelamin antara lain nekrosis, hipofisis postpartura (penyakit shecan), nekrosis karena meningitis basalis, trauma tengkorak, hipertensi maligna, arteriasklerosis serebri, tumor granulema dan lain – lain.
Hipopituitarisme adalah keadaan yang timbul sebagai akibat hipofungsi hipofisis. Definisi hormon hipofisis anterior dapat terjadi dari 3 jalur :
  1. Kelainan di dalam kelenjar yang dapat merusak sel – sel sekretorik.
  2. Kelainan di dalam atau yang berdekatan dengan tangkai hipofise dimana dapat menyebabkan penghentian penyebaran faktor – faktor yang berasal dari  hipotalamus.
  3. Kelainan di dalam hipotalamus sendiri dimana dapat merusak pelepasan bahan pengatur pada hipofise depan.
Enam hormon yang sangat penting ditambah beberapa yang kurang disekresi oleh hipofise anterior dan dua hormon yang penting disekresi oleh hipofise posterior. Hormon – hormon hipofisis anterior memegang peranan utama mengatur fungsi metaboliosme di seluruh tubuh,
  1. Growth Hormon, meningaktkan pertumbuhan binatang dengan mempengaruhi  banyak fungsi metabolisme di seluruh tubuh, khususnya pembentukan n.
  2. Adrenokortikotropin, mengatur sekresi beberapa hormon korteks adrenal
     yang selanjutnya mempengaruhi metabolisme glukosa, protein dan lemak.
  3. Hormon perangsang tiroid, mengatur kecepatan sekresi tiroksin oleh kelenjar tiroid, mengatur kecepatan sekresi tiroksin oleh kelenjar tiroid dan tiroksin selanjutnya mengatur kecepatan sebagian besar reaksi – reaksi kimia seluruh tubuh.
  4. Prolaktin, meningkatkan perkembangan kelenjar mammae dan pembentukan susu dan dua hormon gonadotropin.
  5. Hormon perangsang folikel
  6. Hormon luteinisasi, mengatur pertumbuhan gonad serta aktivitas reproduksinya.
 Dua hormon yang disekresi oleh hipofise posterior memegang peranan lain:
  1. Hormon antideuretik, mengatur kecepatan ekskresi air ke dalam urina dan
     dengan cara ini membantu mengatur konsentrasi air dalam cairan tubuh.
  2. Oksitosin :
  1. Mengkonsentrasikan alveolus payudara, sehingga mambantu mengalirkan
     susu dari kelenjar mammae ke puting susu salama penghisapan dan
  2. Mengkonsentrasikan uterus jadi membantu melahirkan bayi kehamilan.

B. KLASIFIKASI
  1. Hipofisis Anterior (Adenohipofisis).
Merupakan kelenjar yang sangat vaskuler dengan sinus - sinus kapiler yang luas diantara sel – sel kelenjar,  0,6 gr dan diameternya sekitar 1 cm sekresi hipofisis anterior diatur oleh hormon yang dinamakan
”releasing dan inhibitory hormones (atau factor) hipotalamus” yang disekresi dalam hipotalamus sendiri dan kemudian dihantarkan kehipofisis anterior melaui pembuluh darah kecil yang dinamakan pembuluh partal hipotalamik hipofisial.
Jenis sel hipofisis anterior
Kelenjar hipofisis anterior terdiri atas beberapa jenis sel. Pada umumnya terdapat satu jenis sel untuk setiap jenis hormon yang dibentuk pada kelenjar ini, dengan teknik  pewarnaan khusus berbagai jenis sel ini dapat dibedakan satu sama lain. Satu – satunya kemungkinan pengecualiannya adalah sel dari jenis yang sama mungkin menyekresi hormon liuteinisasi dan hormon perangsang folikel.
Berdasarkan ciri – ciri pewarnaannya, sel – sel hipofise anterior dibedakan ke dalam 3 kelompok klasik: Kromofobik (tanpa granul), Eosinofilik dan Basofilik.
Sel – sel eosinfilik dianggap bertanggung jawab untuk sekresi yaitu:
a.       ACTH (Adrenocorticotropic Hormon), merangsang biosintesis dan pelepasan kortisol oleh korteks adrenal.
b.      Hormon perangsang tiroid / TSH (Thyroid – Stimulating Hormon : tirotropin), merangsang uptake yodida dan sintesis serta pelepasan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid.
c.       Hormon perangsang folikel / FSH (Follicte – Stimulating Hormon) merangsang perkembangan folikel de graaf dan sekresi hormon esterogen dan ovarium serta spermatogenesis pada testis.
d.      Hormon Luteinisasi (LH) mendorong ovulasi dan luteinasi folikel yang sudah masak di dalam ovarium. Pada laki – laki hormone ini, yang dahulunya disebut hormon perangsang sel interstisialis (ICSH=Interfisial Cell Stimulating Hormon), merangsang produksi dan pelepasan testosteron oleh sel – sel leydig di testis.
e.       Prolaktrin (PRL) merangsang sekresi air susu oleh payudara ibu setelah melahirkan.
f.       Pengendalian sekresi hipofisis anterior.
Sistem rangkap (dual system) yang mengendalikan sekresi hormon hipofise anterior melalui 2 mekanisme kontrol antara lain :
a.       Umpan balik negatif, dimana hormon dari kelenjar sasaran yang bekerja pada tingakat hipofise/hipotalamus menghambat sekresi hormon trofiknya.
b.      Pengendalian oleh hormon – hormon hipotalamus yang berasal dari sel – sel neuronai di dalam atau di dekat eminensia medialis dan disekresikan ke sirkulasi partai hipofise
  1. Hipofisis Posterior (Neurohipofisis)
Kelenjar hipofisis posterior terutama terdiri atas sel – sel glia yang disebut pituisit. Namun pituisit ini tidak mensekresi hormon, sel ini hanya bekerja sebagai struktur penunjang bagi banyak sekali ujung – ujung serat saraf dan bagian terminal akhir serat dari jaras saraf yang berasal dari nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikel hipotalamus.
Jaras saraf ini berjalan menuju ke neurohipofisis melalui tangkai hipofisis, bagian akhir saraf ini merupakan knop bulat yang mengandung banyak granula – granula sekretonik, yang terletak pada permukaan kapiler tempat granula – granula tersebut mensekresikan hormone hipofisis posterior berikut :
Hormon antidiuretik (ADH) yang juga disebut sebagai vasopresin yaitu senyawa oktapeptida yang merupakan produk utama hipofise posterior. Memainkan peranan fisiologik yang penting dalam pengaturan metabolisme air.
            Kerja ADH untuk mempertahankan jumlah air tubuh terutama terjadi pada sel – sel ductus colligens ginjal. ADH mengerahkan kemampuannya yang baik untuk mengubah permeabilitas membran sel epitel sehingga meningkatkan keluarnya air dari tubulus ke dalam cairan hipertonik diruang pertibuler/interstisial.
            Aktivitas ADH dan rasa haus yang saling terintigritas itu sangat efektif untuk mempertahankan osmolaritas cairan tubuh dalam batas – batas yang sangat sempit. 
3. Hipofisis Pars Intermedus
Berasal dari bagian dorsal kantong Rathke yang menjadi satu dengan hipofisis posterior. Pars intermedus mengeluarkan hormon MSH (melanocyte stimulating hormon) melanotropin = intermedian. MSH terdiri dari sub unit alfa dan sub untui beta, beta MHS lebih menentukan khasiat hormon tersebut. Pada manusia, pars intermedus sangat rudimeter sehingga pada orang dewasa tidak ada bukti bahwa MSH dihasilkan oleh bagian ini. Beta MSH memiliki struktur kimia yang mirip dengan ACTH (adreno cortico tropic hormon), sehingga ACTH memiliki khasiat seperti MSH.

C. ETIOLOGI
Hipopiutuitarisme dapat terjadi akibat malfungsi kelenjar hipofisis atau hipotalamus. Penyebabnya menyangkut :
1. Infeksi atau peradangan oleh : jamur, bakteri piogenik.
2. Penyakit autoimun (Hipofisis limfoid autoimun)
3. Tumor, misalnya dari sejenis sel penghasil hormon yang dapat mengganggu pembentukan salah satu atau semau hormon lain.
4. Umpan balik dari organ sasaran yang mengalamai malfungsi. Misalnya, akan terjadi penurunan sekresi TSH dari hipofisis apabila kelenjar tiroid yang sakit mengeluarkan HT dalam kadar yang berlebihan.
5. Nekrotik hipoksik (kematian akibat kekurangan O2) hipofisis atau oksigenasi dapat merusak sebagian atau semua sel penghasil hormon. Salah satunya sindrom sheecan, yang terjadi setelah perdarahan maternal.

D. PATOFISIOLOGI
Penyebab hipofungsi hipofise dapat bersifat primer dan sekunder. Primer bila gangguannya terdapat pada kelenjar hipofise itu sendiri, dan sekunder bila terdapat pada hipotalamus. Penyebab tersebut termasuk diantaranya: (Hotma Rumahorbo. 1999:38)
1. Defek perkembangan konginetal, seperti pada dwarfisme pituitari.
2. Tumor yang merusak hipofise.
3. Iskemia, seperti pada nekrosis postpartum.
Hipopituitari pada orang dewasa dikenal sebagai (penyakit Simmonds’) yang ditandai dengan kelemahan umum, intoleransi terhadap dingin, nafsu makan buruk, penurunan berat badan,dan hipotensi.Wanita yang terserang penyakit inio tidak akan mengalami menstruasi dan pada pria akan menderita impotensi dan kehilangan libido. Insufisiensi hipofise pada anak-anak akan mengakibatkan dwarfisme.
Diabetes insipidus ditandai dengan kurangnya ADH sekunder terhadap lesi yang menghancurkan hipotalamus, stalk hipofise, atau hipofise posterior. Kondisi ini dapat disebabkan oleh tumor, infeksi otak atau meningen. Diabetes insipidus dikelompokkan menjadi nefrogenik (diabetesinsipidus yang terjadi secara herediter di mana tubulus ginjal tidak berespon secara tepat terhadap ADH, sementara kadar hormon dalam serum normal.Insufisiensi hipotalamus membutuhkan terapi penggantian hormon yang sesuai. Tetapi penggantian dengan ADH menunjukkan hasil yang efektif dalam mengobati diabetes insipidus.

E. MANIFESTASI KLINIS
1. Sakit kepala dan gangguan penglihatan atau adanya tanda – tanda tekanan intara kranial yang meningkat.
 2. Gambaran dari produksi hormon pertumbuhan yang berlebih termasuk akromegali (tangan dan kaki besar demikian pula lidah dan rahang), berkeringat banyak, hipertensi dan artralgia (nyeri sendi).
3. Hiperprolaktinemia : amenore atau oligomenore galaktore (30%), infertilitas pada wanita, impotensi pada pria.
4. Sindrom Chusing : obesitas sentral, hirsutisme, striae, hipertensi, diabetesmilitus, osteoporosis.
5. Defisiensi hormone pertumbuhan : (Growt Hormon = GH) gangguan pertumbuhan pada anak – anak.
6. Defisiensi Gonadotropin : impotensi, libido menurun, rambut tubuh rontok pada pria, amenore pada wanita.
7. Defisiensi TSH : rasa lelah, konstipasi, kulit kering gambaran laboratorium dari hipertiroidism.
8. Defisiensi Kortikotropin : malaise, anoreksia, rasa lelah yang nyata, pucat, gejala – gejala yang sangat hebat selama menderita penyakit sistemik ringan biasa, gambaran laboratorium dari penurunan fungsi adrenal.
9. Defisiensi Vasopresin : poliuria, polidipsia, dehidrasi, tidak mampu memekatkan urin.

F. PEMERIKSAAN FISIK
1.         Pemeriksaan Fisik
a.       Inspeksi :
Amati bentuk dan ukuran tubuh, ukur BB dan TB, amati bentuk dan ukuran buah dada, pertumbuhan rambut axila dan pubis pada klien pria amati pula pertumbuhan rambut wajah (jenggot dan kumis)
b.      Palpasi: Palpasi kulit, pada wanita biasanya menjadi kering dan kasar.
Tergantung pada penyebab hipopituitary, perlu juga dikaji data lain sebagai data penyerta seperti bila penyebabnya adalah tumor maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap fungsi serebrum dan fungsi nervus kranialis dan adanya keluhan nyeri kepala.
2.      Kaji pula dampak perubahan fisik terhadap kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
3.      Data penunjang dari hasil pemeriksaan diagnostik seperti :
a.       Foto kranium untuk melihat pelebaran dan atau erosi sella tursika.
b.      Pemeriksaan serum darah : LH dan FSH GH, prolaktin, alsdosteron, testosteron, kartisol, androgen, test stimulasi yang mencakup uji toleransi insulin dan stimulasi tiroid releasing hormon.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorik. Pengeluaran 17 ketosteroid dan 17 hidraksi kortikosteroid dalam urin menurun, BMR menurun.
2. Pemeriksaan Radiologik / Rontgenologis Sella Tursika
a. Foto polos kepala
b. Poliomografi berbagai arah (multi direksional)
c. Pneumoensefalografi
d. CT Scan
e. Angiografi serebral
3. Pemeriksaan Lapang Pandang
a. Adanya kelainan lapangan pandang mencurigakan
b. Adanya tumor hipofisis yang menekan kiasma optik
4. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan kartisol, T3 dan T4, serta esterogen atau testosteron
b. Pemeriksaan ACTH, TSH, dan LH
c. Tes provokasi dengan menggunakan stimulan atau supresan hormon, dan dengan melakukan pengukuran efeknya terhadap kadar hormon serum.
d. Tes provokatif.


H. KOMPLIKASI
1. Kardiovaskuler.
a. Hipertensi.
b. Tromboflebitis.
c. Tromboembolisme.
d. Percepatan uterosklerosis.
2. Imunologi.
Peningkatan resiko infeksi dan penyamaran tanda – tanda infeksi.
3. Perubahan mata.
a. Glaukoma.
b. Lesi kornea.
4. Muskuloskeletal.
a. Pelisutan otot.
b. Kesembuhan luka yang jelek.
c. Osteoporis dengan fraktur kompresi vertebra, fraktur patologik tulang panjang, nekrosis aseptik kaput femoris.
5. Metabolik. Perubahan pada metabolisme glukosa sindrome penghentian steroid.
6. Perubahan penampakan.
a. Muka seperti bulan (moon face).
b. Pertambahan berat badan.
c. Jerawat.

I. DIAGNOSIS
1.      Gangguan hipotalamus.
2.      Penyakit organ ’target’ seperti gagal tiroid primer, penyakit Addison atau gagal gonadal rimer.
3.      Penyebab sindrom chusinglain termasuk tumor adrenal, sindrome ACTH ektopik.
4.      Diabetes insipiduspsikogenik atau nefrogenik.
5.      Syndrom parkinson

J. PENATALAKSANAAN MEDIS
1.    Kausal.Bila disebabkan oleh tumor, umumnya dilakukan radiasi. Bila ada gejala – gejala tekanan oleh tumor progresif dilakukan operasi.
2.    Terapi Substitusi
a. Hidrokortison antara 20 – 30 mg sehari diberikan per–os, umumnya disesuaikan dengan siklus harian sekresi steroid yaitu 10 – 15 mg waktu pagi, 10 mg waktu malam. Prednison dan deksametason tidak diberikan karena kurang menyebabkan retensi garam dan air, bila terdapat stres (infeksi, operasi dan lain - lain), dosis oral dinaikkan atau diberikan parenteral. Bila terjadi krisis adrenal atasi syok segera dengan pemberian cairan per-infus NaCl-glukosa, steroid dan vasopreses.
b. Puluis tiroid / tiroksin diberikan setelah terapi dengan hidrokortison.
c. Testosteron pada penderita laki – laki berikan suntikan testosteron enantot atau testosteron siprionat 200 mg intramuskuler tiap 2 minggu. Dapat juga diberikan fluoxymestron 10 mg per-os tiap hari.
d. Esterogen diberikan pada wanita secara siklik untuk mempertahankan siklus haid. Berikan juga androgen dosis setengah dosis pada laki – laki hentikan bila ada gejala virilisasi ’’growth hormone’’ bila terdapat dwarfisme.
3.    Tumor hipofisis, diobati dengan pembedahan radioterapi atau obat (misal : akromegali dan hiperprolaktinemia dengan hymocriptine).
4.    Beberapa cara pengobatan sering dilakukan. Defisiensi hormon diobati sebagai berikut : penggantian GH untuk defisiensi GH pada anak – anak, tiroksin dan kortison untuk defisiensi TSH dan ACTH, penggantian androgen atau esterogen untuk defisiensi gonadotropin sendiri (isolated) dapat diobati dengan penyuntikan FSH atau HCG.
5.    Desmopressin dengan insuflasi masal dalam dosis terukur.









BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN HIPOPITUITARI

A. PENGKAJIAN
Pengkajian keperawatan pada klien dengan kelainan ini antara lain mencakup: (Hotma Rumahorbo, 1999:39)
1. Riwayat penyakit masa lalu . Adakah penyakit atau trauma pada kepala
yang pernah diderita klien, serta riwayat radiasi pada kepala.
2. Sejak kapan keluhan diarasakan. Dampak defisiensi GH mulai tampak pada masa balita sedang defisiensi gonadotropin nyata pada masa praremaja.
3. Apakah keluhan terjadi sejak lahir. Tubuh kecil dan kerdil sejak lahir
terdapat pada klien kretinisme.
4. Berat dan tinggi badan saat lahir atau kaji pertumbuhan fisik klien. Bandingkan perumbuhan anak dengan standar.
5. Keluhan utama klien:
a. Pertumbuhan lambat.
b. Ukuran otot dan tulang kecil.
c. Tanda – tanda seks sekunder tidak berkembang, tidak ada rambut pubis dan rambut axila, payudara tidak tumbuh, penis tidak tumbuh, tidak mendapat haid, dan lain – lain.
d. Interfilitas.
e. Impotensi.
f. Libido menurun.
g. Nyeri senggama pada wanita.
6. Pemeriksaan fisik
a. Amati bentuk dan ukuran tubuh, ukur BB
dan TB, amati bentuk dan ukuran buah dada, pertumbuhan rambut axila dan pubis pada klien pria amati pula pertumbuhan rambut wajah (jenggot dan kumis).
b.  Palpasi kulit, pada wanita biasanya menjadi kering dan kasar.
Tergantung pada penyebab hipopituitary, perlu juga dikaji data lain sebagai data penyerta seperti bila penyebabnya adalah tumor maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap fungsi serebrum dan fungsi nervus kranialis dan adanya keluhan nyeri kepala.
7. Kaji pula dampak perubahan fisik terhadap kemapuan klien dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
8. Data penunjang dari hasil pemeriksaan diagnostik seperti :
a. Foto kranium untuk melihat pelebaran dan atau erosi sella tursika.
b. Pemeriksaan serta serum darah : LH dan FSH GH, androgen, prolaktin, testosteron, kartisol, aldosteron, test stimulating yang mencakup uji toleransi insulin dan stimulasi tiroid releasing
hormone.

B. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Diagnosis keperawatan yang dapat dijumpai pada klien hipopituitari adalah : (Hotma Rumahorbo. 1999:46)
1. Gangguan citra tubuh yang b.d perubahan struktur tubuh dan fungsi tubuh akibat defisiensi gonadotropin dan defisiensi hormon pertumbuhan.
2. Koping individu tak efektif b.d kronisitas kondisi penyakit.
3. Harga diri renda b.d perubahan penampilan tubuh.
4. Gangguan persepsi sensori (penglihatan) b.d gangguan transmisi impuls sebagai akibat penekanan tumor pada nervus optikus.
5. Ansietas b.d ancaman atau perubahan status kesehatan.
6. Defisit perawatan diri b.d menurunnya kekuatan otot.
7. Resiko gangguan integritas kulit (kekeringan) b.d menurunnya kadar hormonal.

C. INTERVENSI
Secara umum tujuan yang diharapakan dari perawatan klien dengan hipofungsi hipofisis adalah: (Hotma Rumahorbo. 1999:47)

1. Klien memiliki kembali citra tubuh yang positif dan harga diri yang tinggi.
2. Klien dapat berpartisipasi aktif dalam program pengobatan.
3. Klien dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari.
4. Klien bebas dari rasa cemas.
5. Klien terhindar dari komplikasi.


1. Dx : Gangguan Citra Tubuh yang Berhubungan dengan Perubahan Struktur Tubuh dan Fungsi Tubuh Akibat Defisiensi Gonadotropin dan Defisiensi Hormon Pertumbuhan.
Tujuan :  Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien memiliki kembali citra tubuh yang positif dan harga diri yang tinggi. Kriteria Hasil :
1.  Melakukan kegiatan penerimaan, penampilan misalnya: kerapian, pakaian, postur tubuh, pola makan, kehadiran diri.
2.  Penampilan dalam perawatan diri / tanggung jawab peran.
Intervensi :
1.    Dorong individu untuk mengekspresikan perasaan.
R/  Kita dapat mengkaji sejauh mana tingkat penolakan terhadap kenyataan akan kondisi fisik tubuh, untuk mempercepat teknik penyembuhan / penanganan.
2.    Dorong individu untuk bertanya mengenai masalah, penanganan, perkembangan, prognosa kesehatan.
R/ Dengan mengetahui proses perjalanan penyakit tersebut maka klien secara bertahap akan mulai menerima kenyataan.
3.    Tingkatkan komunikasi terbuka, menghindari kritik / penilaian tentang perilaku klien.
R/ Membantu untuk tiap individu untuk memahami area dalam program sehingga salah pemahaman tidak terjadi.
4.    Berikan kesempatan berbagi rasa dengan individu yang mengalami pengalaman yang sama.
R/ Sebagai problem solving
5.    Bantu staf mewaspadai dan menerima perasaan sendiri bila merawat pasienlain.
R/ Perilakumenilai, perasaan jijik, marah dan aneh dapat mempengaruhi perawatan /ditransmisikan pada klien, menguatkan harga negatif / gambaran.


2. Dx : Koping Individu Tak Efektif berhubungan dengan Kronisitas Kondisi Penyakit.
Tujuan :  Setelah dilakuan tindakan keperawatan tingkat koping individu meningkat.
Kriteria Hasil :
1. Mengungkapkan perasaan yang berhubungan dengan keadaan emosional.
2. Mengidentifikasi pola koping personal dan konsekuensi perilaku yang diakibatkan.
3. Mengidentifikasi kekuatan personal dan menerima dukungan melalui hubungan keperawatan.
4. Membuat keputusan dan dilanjutkan dengan tindakan yang sesuai/ mengubah situasi provokatif dalam lingkungan personal.
Intervensi :
1.      Kaji status koping individu yang ada.
R/ Meningkatkan proses interaksi sosial karena klien mengalami peningkatan komunikatif.
2.      Berikan dukungan jika individu berbicara.
           R/ Klien meningkatkan rasa percaya diri kepada orang lain.
3.      Bantu individu untuk memcahkan masalah (problem solving).
 R/ Dengan berkurangnya ketegangan, ketakutan klien akan menurun dan        tidak mengucil /mengisolasikan diri dari lingkungan.
4.      Instruksikan individu untuk melakukan teknis relasi, dalam proses teknik pembelajaran penatalaksanaan stress.
 R/ Ketepatan penanganan dan proses penyembuhan.
5.      Kolaborasi dengan tenaga ahli psikologi untuk proses penyuluhan.
     R/ Klien mengerti tentang penyakitnya.


3. Dx : Harga diri Rendah berhubungan dengan Perubahan Penampilan Tubuh.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan harga diri meningkat.
Kriteria hasil :
1. Mengungkapkan hasil perasaan dan pikiran mengenai diri.
2. Mengidentifikasikan dua atributif positif mengenai diri.
Intervensi :
1.      Bina hubungan saling percaya perawat dan klien.
R/ Rasa percaya diri meningkat, pasien menerima kenyataan akan penampilan tubuh.
2.      Tingkatkan interaksi sosial.
R/ Pasien akan merasa berarti, dihargai, dihormati, serta diterima olehnlingkungan.
3.      Diskusikan harapan / keinginan / perasaan.
R/ Dengan cara pertukaran pengalaman perasaan akan lebih mampu dalam mencegah faktor penyebab terjadinya harga diri rendah.
4.      Rujuk kepelayanan pendukung.
R/ Memberikan tempat untuk pertukaran masalah dan pengalaman yang sama.


4. Dx : Gangguan Persepsi Sensori (Penglihatan) berhubungan dengan Kesalahan Interpertasi Sekunder, Gangguan Transmisi, Impuls.
Tujuan :  Setelah dilakukan tindakan keperawatan penglihatan berangsur –
angsur membaik.
Kriteria Hasil :
1. Menunjukkan tanda adanya penurunan gejala yang menimbulkan gangguan persepsi sensori
2. Mengidentifikasi dan menghilangkan faktor resiko jika mungkin.
3. Menggunakan rasionalisasi dalam tindakan penanganan.
Intervensi :
1.        Kurangi penglihatan yang berlebih.
R/ Mengurangi tingkat ketegangan otot mata, meningkatkan relaksasi mata.
2.        Orientasikan terhadap keseluruhan 3 bidang (orang, tempat, waktu).
R/ Untuk mengetahui faktor penyebab melalui tes sensori indera penglihatan.
3.        Sediakan waktu untuk istirahat bagi klien tanpa gangguan.
R/ Meningkatkan kepekaan indera penglihatan melalui stimulus indera khususnya penglihatan.
4.        Gunakan berbagai metode untuk menstimulasi indera.
R/ Mempertahankan normalitas melalui waktu lebih muda bila tidak mampu menggunakan penglihatan.
5. Dx : Ansietas berhubungan dengan Perubahan Status Kesehatan.
Tujuan : Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan berkurang.
Kriteria hasil :
1. Peningkatan kenyaman psikologis dan fsikologis.
2. Menggambarkan ansietas dan polakopingnya.
Intervensi :
1.      Bina hubungan saling percaya.
R/ Komunikasi terapeutik dapat memudahkan tindakan.
2.      Catat respon verbal non verbal pasien.
R/ Mengetahui perasaan yang sedang dialami klien.
3.      Berikan aktivitas yang dapat menurunkan ketegangan.
R/ Kondisi rileks dapat menurunkan tingkat ancietas.
4.      Jadwalkan istirahat adekuat dan periode menghentikan tidur.
R/ Mengatasi kelemahan, menghemat energi dan dapat meningkatkan kemampuan koping.


6. Dx : Defisit Perawatan Diri berhubungan dengan Menurunnya Kekuatan Otot.
Tujuan :  Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien dapat aktif dalam
aktifitas perawatan diri.
Kriteria hasil :
1. Mengidentifikasi kemampuan aktifitas perawatan diri.
2. Melakukan kebersihan optimal setelah bantuan dalam perawatan diberikan.
3. Berpartisipasi secara fisik / verbal dalam aktifitas, perawatan diri / pemenuhan kebutuhan dasar.
Intervensi :
1.         Kaji faktor penyeba menurunnya defisit perawatan diri.
R/ Menghambat faktor penyebab dapat meningkatkan perawatan diri.
2.         Tingkatkan partisipasi optimal.
R/ Partisipasi optimal dapat memaksimalkan perawatan diri.
3.        Evaluasi kemampuan untuk berpartisipasi dalam setiap aktivitas perawatan.
R/ Dapat menumbuhkan rasa percaya diri klien.
4.        Beri dorongan untuk mengexpresikan perasaan tentang kurang perawatan diri.
R/ Dapat memberikan kesempatan pada klien untuk melakukan perawatan diri.


7. Dx : Resiko Gangguan Integritas Kulit (Kekeringan) berhubungan dengan Menurunnya Kadar Hormonal.
Tujuan : Setelah dilakukan keperawatan integritas kulit dalam kondisi normal.
Kriteria hasil :
1. Mengidentifikasi faktor penyebab.
2. Berpartisipasi dalam rencana pengobatan yang dilanjutkan untuk meningkatkan penyembuhan luka.
3. Menggambarkan etiologi dan tindakan pencegahan.
4. Memperlihatkan integritas kulit bebas dari luka tekan.
Intervensi :
1.        Pertahankan kecukupan masukan cairanuntuk hidrasi yang adekuat.
R/ Mengurangi ketidaknyamanan yang dihubungkan dengan membran mukosa yang kering dan untuknrehidrasi.
2.        Berikan dorongan latihan rentang gerak dan mobilisasi.
R/ Meningkatkan pemeliharaan fungsi otot / sendi.
3.        Ubah posisi atau mobilisasi.
R/ Meningkatkan posisi fungsional pada ekstrimitas.
4.        Tingkatkan masukan karbohidrat dan protein untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen positif.
R/ Kelemahan dan kehilangan pengaturan metabolisme terhadap makanan dapat mengakibatkan malnutrisi.
5.        Pertahankan tempat tidur sedatar mungkin.
R/ Posisi datar menjaga keseimbangan tubuh dan mencegah retensi cairan pada daerah tertentu sehingga tidak terjadi edema lokal.

BAB IV
PENUTUP

Jadi, hipopituitarisme adalah keadaan yang timbul sebagai akibat hipofungsi hipofisis. Hipofungsi hipofise jarang terjadi, namun dapat saja terjadi dalam setiap kelompok usia. Kondisi ini  dapat mengenai semau sel hipofise (panhipopituarisme) atau hanya sel-sel trtentu, terbatas pad satu subset sel-sel hipofise anterior atau sel-sel hipofise posterior. Hipopituarisme ini disebabkan oleh infeksi atau peradangan, penyakit autoimun, tumor, umpan balik dari organ sasaran yang mengalamai malfungsi, nekrotik hipoksik (kematian akibat kekurangan O2) hipofisis. Hipopituitari ini ditandai dengan adanya sakit kepala dan gangguan penglihatan, produksi hormon pertumbuhan yang berlebih, hiperprolaktinemia, sindrom chusing, defisiensi hormone pertumbuhan, defisiensi gonadotropin, defisiensi tsh, defisiensi kortikotropin, defisiensi vasopresin. Yang penatalaksanaan dari penyakit ini adalah kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat-obat hormonal sampai dengan operasi bila ada gejala – gejala tekanan oleh tumor progresif
Secara umum tujuan yang diharapakan dari perawatan klien dengan hipofungsi hipofisis/hipopituitari ini adalah:
1. Klien memiliki kembali citra tubuh yang positif dan harga diri yang tinggi.
2. Klien dapat berpartisipasi aktif dalam program pengobatan.
3. Klien dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari.
4. Klien bebas dari rasa cemas.
5. Klien terhindar dari komplikasi.





DAFTAR PUSTAKA
Marilynn E.1999. Rencana Asuhan Keperawatan.Edisi 3. Jakarta: EGC.
Price,Sylvia.A dan Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit.Jakarta: EGC
Rumahorbo, Hotma. 1999. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Endokrin. Jakarta: EGC

syariar-yusrina.blog.friendster.com

freco-demon.blog.friendster.com

Tidak ada komentar: