Ayah dan Bunda putra putrinya yg belom di imunisasi mongo di baca2 dulu dan dicocokan dengan KMS nya .
B ila ingin si kecil sehat, lakukan imunisasi secara teratur. Tak perlu khawatir imunisasinya akan kelebihan. Justru semakin banyak, si kecil akan semakin aman.
Hampir sebulan sekali bayi pasti dibawa ke dokter untuk imunisasi. Merunut peraturan WHO yang ada di UCI (Universal Child Imunitation), imunisasi untuk bayi atau anak usia 0-1 tahun terdiri dari BCG, DPT, Polio, Campak, Hepatitis B dan MMR. "Khusus MMR, pemerintah kita belum mewajibkannya. Pertimbangannya, vaksin ini masih diimpor sehingga harganya relatif mahal, yaitu sekitar Rp. 120 ribu," tutur dr. H. Adi Tagor, Sp.A, DPH dari RS. Pondok Indah, Jakarta.
USIA BUKAN PATOKAN BARU
Lebih jauh dijelaskan Adi, imunisasi sebenarnya terdiri dari 2 golongan. Golongan pertama adalah imunisasi yang harus selesai sebelum usia setahun (lihat boks Jenis Imunisasi Bayi) dan golongan kedua adalah imunisasi yang tak boleh dilaksanakan pada usia di bawah setahun. Namun demikian, patokan usia sebagaimana yang ditulis dalam jadwal iminusasi di rumah sakit-rumah sakit ataupun puskesmas dan poli anak maupun di buku-buku kesehatan anak, bukanlah patokan baku.
Misalnya, imunisasi DPT ke-1 yang dijadwalkan pada usia 2 bulan, DPT ke-2 di usia 3 bulan dan DPT ke-3 di usia 4 bulan. Bukan berarti setiap bayi harus diimunisasi DPT pada usia-usia tersebut. Yang penting, sebelum usia setahun si bayi harus sudah diimunisasi DPT lengkap. Memang, aku Adi, ada beberapa imunisasi yang sebaiknya dilakukan tepat berdasarkan umur. Misalnya, BCG, sebaiknya dilaksanakan setelah bayi berusia 1 bulan atau 1 bulan lebih 1 minggu. "Sebenarnya BCG bisa dilaksanakan sewaktu bayi berumur sehari.
Namun menurut penelitian, imunisasi BCG akan efektif bila bayi sudah berumur sebulan atau sebulan lebih seminggu. Alasannya, karena imunologi terhadap BCG belum bisa bangkit dengan baik pada bayi yang baru lahir," terangnya. Imunisasi lain yang sebaiknya dilaksanakan tepat umur ialah Campak, yaitu di usia 9 bulan. Mengapa? Karena pada umumnya, hampir semua ibu sudah pernah kena campak. "Nah, sewaktu hamil, dia mewariskan kekebalannya pada janin yang dikandungnya melalui plasenta. Kekebalan ini bertahan hingga bayi berusia 8 bulan. Itulah mengapa vaksinasi Campak harus dilakukan di usia 9 bulan. Jadi, sebelumnya bayi masih ada kekebalan campak dari ibunya," terang Adi.
PENTINGNYA HiB
Selain soal jadwal imunisasi, yang kerap membingungkan para ibu ialah imunisasi HiB (Hemophilus Influenzae type B) . Pasalnya, tak setiap dokter menganjurkan imunisasi ini. "Beberapa dokter memang memandang imunisasi ini tak perlu," aku Adi. Sebab, terangnya, imunisasi yang dimaksudkan untuk menghindari radang selaput otak ini, selain harganya mahal, juga penyakit tersebut memang di Indonesia sangat jarang terjadi. "Umumnya penyakit radang selaput otak banyak dijumpai di negeri dingin, seperti Australia, Amerika, atau negara-negara di Eropa."
Namun, bukankah pasien berhak diberi tahu atau istilah kedokterannya, inform concent? Setuju atau tak setuju dilakukan, dikembalikan pada diri orang tua si pasien. Iya, kan! Terlebih lagi, kata Adi, komunikasi di negeri kita sudah mengglobalisasi, terutama untuk Jakarta dan Bali. "Coba saja, bila kita berjalan-jalan di mal atau berenang, pasti, kan, kita bertemu anak bule. Nah, kalau enggak disuntik HiB, bayi pun bisa terkena. Akibatnya sangat fatal, lo, karena langsung ke selaput otak dan dapat menimbulkan kematian dengan cepat. Kalaupun sembuh, si anak bisa cacat seperti orang terkena stroke."
Jadi, sarannya, bila memang orang tua cukup mampu, apa salahnya si bayi diberi imunisasi HiB. Toh, tak ada ruginya. Imunisasi HiB, terang Adi, dilaksanakan 3 kali. Dua kali dilakukan pada saat bayi berusia di bawah setahun dan sekali dilakukan di atas usia setahun. Jarak waktu imunisasi HiB yang pertama dan kedua adalah sebulan, sedangkan HiB ketiga dilakukan setelah setahun. Oleh karena itu, saran Adi, bila orang tua ingin mengajak bayinya pergi ke negeri dingin, sebaiknya si bayi sudah disuntik "tiga-satu". Artinya, 3 kali di bawah usia setahun dan satu kali di atas usia setahun. Jadi, 4 kali suntikan. "Kalau mau aman, sebelum berangkat disuntik sekali lagi."
Lo, apa nanti enggak kelebihan? Ternyata tidak. Menurut Adi, kelebihan pun enggak apa-apa. Bahkan, mau dilakukan sampai 10 kali juga enggak apa-apa. Tapi kalau sampai 3 kali dinilai sudah cukup, ya, tak perlu lebih. Bukankah harganya mahal? Hal ini juga berlaku untuk semua jenis imunisasi. Sebab, terangnya, "imunisasi bukan obat. Kalau obat, bisa overdosis. Namun imunisasi, tidak." Jadi, Bu, kalau memang lupa apakah si bayi sudah diimunisasi atau belum, tak ada salahnya Ibu lakukan lagi imunisasi. "Daripada bingung-bingung, suntik saja sekali lagi. Enggak akan bahaya, kok, malah biar safe ," kata Adi.
EFEKTIVITAS IMUNISASI
Soal tempat dilaksanakannya imunisasi, menurut Adi, bisa di mana saja. Entah di rumah sakit, di poli anak, maupun di puskesmas. Asal jangan di rumah; tapi para dokter biasanya juga enggak berani, kok, melaksanakan imunisasi di rumah. Pasalnya, vaksin untuk imunisasi harus disimpan di lemari pendingin.
Jadi, kalau lampu mati sehingga lemari pendingin tak bekerja, maka vaksin-vaksin tersebut sudah tak efektif lagi. "Di rumah sakit besar biasanya memiliki special storage atau tempat penyimpanan khusus. Juga kalau lampu mati, generator langsung hidup," tutur Adi. Tapi, toh, kita tak perlu khawatir terhadap rumah sakit kecil ataupun puskesmas yang tak memiliki tempat penyimpanan khusus maupun generator.
Karena kalau sampai terjadi listrik padam, maka pihak rumah sakit/puskesmas tersebut akan segera meletakkan vaksin-vaksin imunisasi di antara es batu agar tetap bisa efektif pada saat digunakan. Lantas, bagaimana mengukur efektivitas dari vaksin-vaksin tersebut? Menurut Adi, caranya dengan mengambil darah. "Tapi hal ini jarang dilakukan karena biayanya yang terlalu mahal." Namun ada beberapa imunisasi yang jelas-jelas bisa diukur; antara lain imunisasi BCG. "Suntikan ini akan membuat suatu tanda seperti 'bisul' kecil di tempat yang disuntik, entah itu di lengan kanan atau pantat sebelah kiri."
Nah, bila "bisul" tersebut tak muncul, berarti imunisasinya gagal dan harus diulang. Pengulangan bisa dilakukan kapan saja. "Tapi sebaiknya sebelum usia setahun. Karena setelah usia setahun, biasanya anak sudah banyak dibawa ke mana-mana sehingga bisa tertular TBC. Bukankah data TBC di Indonesia masih yang tertinggi di dunia, seperti juga di India dan Bangladesh? Nah, bila anak tak diproteksi, maka ia akan gampang terkena TBC," jelas Adi. Selain BCG, imunisasi Hepatitis B juga bisa diukur dengan cara yang tak terlalu mahal, "yaitu dengan cara mengecek kadar Hepatitis B-nya setelah anak berusia setahun."
Dari hasil tes dokter akan mendapat angka. Di atas 1000, berarti daya tahannya 8 tahun; di atas 500, tahan 5 tahun; di atas 200, tahan 3 tahun. Tapi kalau angkanya cuma 100, maka dalam setahun akan hilang. Sementara bila angkanya nol berarti si bayi harus disuntik ulang 3 kali lagi. Yang patut disadari orang tua, lanjut Adi, imunisasi tak bisa memproteksi bayi hingga 100 persen.
"Bila bayi bisa terproteksi sampai 80 persen saja, itu sudah bagus; karena banyak hal yang memperngaruhi imunisasi, salah satunya adalah gizi dan kesehatan bayi." Selain itu, efektivitas imunisasi hanya bertahan sekitar 5-10 tahun. Jadi di antara usia tersebut, anak perlu diimunisasi lagi atau istilahnya booster (penguat). Nah, Bu-Pak, sudah paham, kan! Jadi, jangan malas mengimunisasi si kecil, ya.
JENIS IMUNISASI (0-1 TAHUN)
* BCG (Bacille Calmette Guerin).
Manfaatnya untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit TB (tuberkolosis); diberikan hanya 1 kali. Usia efektif dilakukannya imunisasi pada 1 bulan atau 1 bulan 1 minggu. Suntikan ini akan menampakkan "bisul" kecil di daerah yang disuntik. Bila tidak, harus dilakukan suntikan ulang.
* DPT (Difteri Pertusis Tetanus) Polio.
Untuk mencegah timbulnya penyakit difteri, pertusis, dan tetanus. Biasanya setelah 6 jam bayi akan mengalami panas atau timbul uneasy feeling seperti tak mau makan atau murung. Tapi ini hanya efek sementara.
DPT bisa digabungkan dengan Polio, sehingga imunisasi menjadi DPT Polio. Imunisasinya dilaksanakan sebanyak 4 kali; 3 kali di bawah usia setahun dan 1 kali di atas usia setahun.
* Hepatitis B.
Agar bayi memiliki kekebalan terhadap penyakit hepatitis B. Imunisasinya dilakukan sebanyak 3 kali. Aturannya, bila suntikan ke-1 dilakukan pada usia sebulan, maka jangka waktu suntikan ke-2 antara 1-2 bulan kemudian, sedangkan suntikan ke-3 boleh sampai 5 bulan kemudian.
* Campak.
Agar bayi memiliki kekebalan terhadap penyakit campak; harus dilakukan di usia 9 bulan. Biasanya setelah seminggu bisa timbul sedikit demam pada bayi, namun ini hanya efek sementara.
* HiB (Hemophilus Influenzae type B).
Tujuannya agar bayi memiliki kekebalan terhadap penyakit radang selaput otak. Imunisasi dilaksanakan 3 kali; 2 kali di bawah usia setahun dan 1 kali di atas usia setahun.
* MMR (Measles Mumps Rubella).
Untuk mencegah penyakit campak, gondongan atau campak jerman. Imunisasi dilaksanakan hanya 1 kali. Setelah hari ke-3 biasanya bayi akan panas dan timbul bintik-bintik seperti terkena campak. Namun tak usah cemas, karena bintik-bintik tersebut akan hilang sendiri. Sedangkan panasnya bisa diturunkan dengan obat penurun panas yang dapat dibeli bebas di apotik.
BAYI HARUS SEHAT
Penting diperhatikan, bayi yang hendak diimunisasi haruslah dalam kondisi benar-benar fit. Sebab, imunisasi yang dilaksanakan pada bayi tak sehat akan menjadi tak efektif atau malah berubah jadi penyakit. Jadi, Bu, bila si kecil tengah pilek, misalnya, tundalah jadwal imunisasinya sampai ia sembuh dulu dari sakitnya.
Biasanya dokter akan memberi tahu kapan bayi Ibu harus diimunisasi. Namun demikian, tak ada salahnya bila Ibu dan Bapak aktif bertanya, kapan dan imunisasi apa yang harus dilaksanakan bayi selanjutnya. Tanyakan pula apa efeknya setelah bayi menerima imunisasi tersebut dan apa yang harus Bapak-Ibu lakukan.
BILA KEJANG DEMAM
Biasanya bayi akan mengalami panas setelah menerima imunisasi DPT dan MMR. Bila panasnya tak terlalu tinggi atau hanya sekadar sumeng, tak usah khawatir. Cukup diberi obat penurun panas khusus untuk bayi yang dapat dibeli bebas di apotik.
Obat penurun panas juga dapat diberikan sebelum bayi menerima imunisasi. "Obat ini tak berbahaya dan tak akan menimbulkan efek apa-apa, karena jangka waktu bekerjanya hanya 6 jam," terang Adi Tagor . Jadi, kalau sudah lewat waktunya dan si bayi masih panas, maka boleh diberikan lagi. Normalnya 3 kali sehari. Namun bila panasnya tinggi (38 derajat atau lebih) atau panasnya berlangsung lebih dari 2 hari, sebaiknya Bapak dan Ibu segera menghubungi dokter yang bersangkutan.
Yang penting diperhatikan, bila keluarga Anda memiliki keturunan stuip atau kejang demam; sebaiknya, sebelum bayi diimunisasi, beri tahu dokter tentang hal itu. Sebab, terang Adi, walaupun stuip bukan penyakit berbahaya, namun bila berbaur dengan imunisasi, terutama DPT, maka keadaannya akan tragis.
Selain itu, dengan Anda memberi tahu dokter, maka dokter tak akan menggunakan DPT tapi hanya DT. Jadi, tak termasuk Pertusis atau batuk rejan alias batuk 100 hari. Pertimbangannya, batuk rejan sudah jarang sekali terjadi sehingga lebih baik dilewatkan saja daripada si bayi nanti panas dan kejang.
Kadang dokter juga menggunakan DPT aceluler yang tak ada efek panasnya. Atau, tutur Adi, "sebelum suntikan DPT yang pertama, dubur bayi akan dimasukan dengan obat anti kejang. Dengan begitu, bayi akan aman sampai 6 jam. Disamping, bayi juga diberi obat penurun panas sebelum disuntik dan diulangi setiap 6 jam sekali."
B ila ingin si kecil sehat, lakukan imunisasi secara teratur. Tak perlu khawatir imunisasinya akan kelebihan. Justru semakin banyak, si kecil akan semakin aman.
Hampir sebulan sekali bayi pasti dibawa ke dokter untuk imunisasi. Merunut peraturan WHO yang ada di UCI (Universal Child Imunitation), imunisasi untuk bayi atau anak usia 0-1 tahun terdiri dari BCG, DPT, Polio, Campak, Hepatitis B dan MMR. "Khusus MMR, pemerintah kita belum mewajibkannya. Pertimbangannya, vaksin ini masih diimpor sehingga harganya relatif mahal, yaitu sekitar Rp. 120 ribu," tutur dr. H. Adi Tagor, Sp.A, DPH dari RS. Pondok Indah, Jakarta.
USIA BUKAN PATOKAN BARU
Lebih jauh dijelaskan Adi, imunisasi sebenarnya terdiri dari 2 golongan. Golongan pertama adalah imunisasi yang harus selesai sebelum usia setahun (lihat boks Jenis Imunisasi Bayi) dan golongan kedua adalah imunisasi yang tak boleh dilaksanakan pada usia di bawah setahun. Namun demikian, patokan usia sebagaimana yang ditulis dalam jadwal iminusasi di rumah sakit-rumah sakit ataupun puskesmas dan poli anak maupun di buku-buku kesehatan anak, bukanlah patokan baku.
Namun menurut penelitian, imunisasi BCG akan efektif bila bayi sudah berumur sebulan atau sebulan lebih seminggu. Alasannya, karena imunologi terhadap BCG belum bisa bangkit dengan baik pada bayi yang baru lahir," terangnya. Imunisasi lain yang sebaiknya dilaksanakan tepat umur ialah Campak, yaitu di usia 9 bulan. Mengapa? Karena pada umumnya, hampir semua ibu sudah pernah kena campak. "Nah, sewaktu hamil, dia mewariskan kekebalannya pada janin yang dikandungnya melalui plasenta. Kekebalan ini bertahan hingga bayi berusia 8 bulan. Itulah mengapa vaksinasi Campak harus dilakukan di usia 9 bulan. Jadi, sebelumnya bayi masih ada kekebalan campak dari ibunya," terang Adi.
PENTINGNYA HiB
Selain soal jadwal imunisasi, yang kerap membingungkan para ibu ialah imunisasi HiB (Hemophilus Influenzae type B) . Pasalnya, tak setiap dokter menganjurkan imunisasi ini. "Beberapa dokter memang memandang imunisasi ini tak perlu," aku Adi. Sebab, terangnya, imunisasi yang dimaksudkan untuk menghindari radang selaput otak ini, selain harganya mahal, juga penyakit tersebut memang di Indonesia sangat jarang terjadi. "Umumnya penyakit radang selaput otak banyak dijumpai di negeri dingin, seperti Australia, Amerika, atau negara-negara di Eropa."
Namun, bukankah pasien berhak diberi tahu atau istilah kedokterannya, inform concent? Setuju atau tak setuju dilakukan, dikembalikan pada diri orang tua si pasien. Iya, kan! Terlebih lagi, kata Adi, komunikasi di negeri kita sudah mengglobalisasi, terutama untuk Jakarta dan Bali. "Coba saja, bila kita berjalan-jalan di mal atau berenang, pasti, kan, kita bertemu anak bule. Nah, kalau enggak disuntik HiB, bayi pun bisa terkena. Akibatnya sangat fatal, lo, karena langsung ke selaput otak dan dapat menimbulkan kematian dengan cepat. Kalaupun sembuh, si anak bisa cacat seperti orang terkena stroke."
Jadi, sarannya, bila memang orang tua cukup mampu, apa salahnya si bayi diberi imunisasi HiB. Toh, tak ada ruginya. Imunisasi HiB, terang Adi, dilaksanakan 3 kali. Dua kali dilakukan pada saat bayi berusia di bawah setahun dan sekali dilakukan di atas usia setahun. Jarak waktu imunisasi HiB yang pertama dan kedua adalah sebulan, sedangkan HiB ketiga dilakukan setelah setahun. Oleh karena itu, saran Adi, bila orang tua ingin mengajak bayinya pergi ke negeri dingin, sebaiknya si bayi sudah disuntik "tiga-satu". Artinya, 3 kali di bawah usia setahun dan satu kali di atas usia setahun. Jadi, 4 kali suntikan. "Kalau mau aman, sebelum berangkat disuntik sekali lagi."
Lo, apa nanti enggak kelebihan? Ternyata tidak. Menurut Adi, kelebihan pun enggak apa-apa. Bahkan, mau dilakukan sampai 10 kali juga enggak apa-apa. Tapi kalau sampai 3 kali dinilai sudah cukup, ya, tak perlu lebih. Bukankah harganya mahal? Hal ini juga berlaku untuk semua jenis imunisasi. Sebab, terangnya, "imunisasi bukan obat. Kalau obat, bisa overdosis. Namun imunisasi, tidak." Jadi, Bu, kalau memang lupa apakah si bayi sudah diimunisasi atau belum, tak ada salahnya Ibu lakukan lagi imunisasi. "Daripada bingung-bingung, suntik saja sekali lagi. Enggak akan bahaya, kok, malah biar safe ," kata Adi.
EFEKTIVITAS IMUNISASI
Soal tempat dilaksanakannya imunisasi, menurut Adi, bisa di mana saja. Entah di rumah sakit, di poli anak, maupun di puskesmas. Asal jangan di rumah; tapi para dokter biasanya juga enggak berani, kok, melaksanakan imunisasi di rumah. Pasalnya, vaksin untuk imunisasi harus disimpan di lemari pendingin.
Jadi, kalau lampu mati sehingga lemari pendingin tak bekerja, maka vaksin-vaksin tersebut sudah tak efektif lagi. "Di rumah sakit besar biasanya memiliki special storage atau tempat penyimpanan khusus. Juga kalau lampu mati, generator langsung hidup," tutur Adi. Tapi, toh, kita tak perlu khawatir terhadap rumah sakit kecil ataupun puskesmas yang tak memiliki tempat penyimpanan khusus maupun generator.
Karena kalau sampai terjadi listrik padam, maka pihak rumah sakit/puskesmas tersebut akan segera meletakkan vaksin-vaksin imunisasi di antara es batu agar tetap bisa efektif pada saat digunakan. Lantas, bagaimana mengukur efektivitas dari vaksin-vaksin tersebut? Menurut Adi, caranya dengan mengambil darah. "Tapi hal ini jarang dilakukan karena biayanya yang terlalu mahal." Namun ada beberapa imunisasi yang jelas-jelas bisa diukur; antara lain imunisasi BCG. "Suntikan ini akan membuat suatu tanda seperti 'bisul' kecil di tempat yang disuntik, entah itu di lengan kanan atau pantat sebelah kiri."
Nah, bila "bisul" tersebut tak muncul, berarti imunisasinya gagal dan harus diulang. Pengulangan bisa dilakukan kapan saja. "Tapi sebaiknya sebelum usia setahun. Karena setelah usia setahun, biasanya anak sudah banyak dibawa ke mana-mana sehingga bisa tertular TBC. Bukankah data TBC di Indonesia masih yang tertinggi di dunia, seperti juga di India dan Bangladesh? Nah, bila anak tak diproteksi, maka ia akan gampang terkena TBC," jelas Adi. Selain BCG, imunisasi Hepatitis B juga bisa diukur dengan cara yang tak terlalu mahal, "yaitu dengan cara mengecek kadar Hepatitis B-nya setelah anak berusia setahun."
Dari hasil tes dokter akan mendapat angka. Di atas 1000, berarti daya tahannya 8 tahun; di atas 500, tahan 5 tahun; di atas 200, tahan 3 tahun. Tapi kalau angkanya cuma 100, maka dalam setahun akan hilang. Sementara bila angkanya nol berarti si bayi harus disuntik ulang 3 kali lagi. Yang patut disadari orang tua, lanjut Adi, imunisasi tak bisa memproteksi bayi hingga 100 persen.
"Bila bayi bisa terproteksi sampai 80 persen saja, itu sudah bagus; karena banyak hal yang memperngaruhi imunisasi, salah satunya adalah gizi dan kesehatan bayi." Selain itu, efektivitas imunisasi hanya bertahan sekitar 5-10 tahun. Jadi di antara usia tersebut, anak perlu diimunisasi lagi atau istilahnya booster (penguat). Nah, Bu-Pak, sudah paham, kan! Jadi, jangan malas mengimunisasi si kecil, ya.
JENIS IMUNISASI (0-1 TAHUN)
* BCG (Bacille Calmette Guerin).
Manfaatnya untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit TB (tuberkolosis); diberikan hanya 1 kali. Usia efektif dilakukannya imunisasi pada 1 bulan atau 1 bulan 1 minggu. Suntikan ini akan menampakkan "bisul" kecil di daerah yang disuntik. Bila tidak, harus dilakukan suntikan ulang.
* DPT (Difteri Pertusis Tetanus) Polio.
Untuk mencegah timbulnya penyakit difteri, pertusis, dan tetanus. Biasanya setelah 6 jam bayi akan mengalami panas atau timbul uneasy feeling seperti tak mau makan atau murung. Tapi ini hanya efek sementara.
DPT bisa digabungkan dengan Polio, sehingga imunisasi menjadi DPT Polio. Imunisasinya dilaksanakan sebanyak 4 kali; 3 kali di bawah usia setahun dan 1 kali di atas usia setahun.
* Hepatitis B.
Agar bayi memiliki kekebalan terhadap penyakit hepatitis B. Imunisasinya dilakukan sebanyak 3 kali. Aturannya, bila suntikan ke-1 dilakukan pada usia sebulan, maka jangka waktu suntikan ke-2 antara 1-2 bulan kemudian, sedangkan suntikan ke-3 boleh sampai 5 bulan kemudian.
* Campak.
Agar bayi memiliki kekebalan terhadap penyakit campak; harus dilakukan di usia 9 bulan. Biasanya setelah seminggu bisa timbul sedikit demam pada bayi, namun ini hanya efek sementara.
* HiB (Hemophilus Influenzae type B).
Tujuannya agar bayi memiliki kekebalan terhadap penyakit radang selaput otak. Imunisasi dilaksanakan 3 kali; 2 kali di bawah usia setahun dan 1 kali di atas usia setahun.
* MMR (Measles Mumps Rubella).
Untuk mencegah penyakit campak, gondongan atau campak jerman. Imunisasi dilaksanakan hanya 1 kali. Setelah hari ke-3 biasanya bayi akan panas dan timbul bintik-bintik seperti terkena campak. Namun tak usah cemas, karena bintik-bintik tersebut akan hilang sendiri. Sedangkan panasnya bisa diturunkan dengan obat penurun panas yang dapat dibeli bebas di apotik.
BAYI HARUS SEHAT
Penting diperhatikan, bayi yang hendak diimunisasi haruslah dalam kondisi benar-benar fit. Sebab, imunisasi yang dilaksanakan pada bayi tak sehat akan menjadi tak efektif atau malah berubah jadi penyakit. Jadi, Bu, bila si kecil tengah pilek, misalnya, tundalah jadwal imunisasinya sampai ia sembuh dulu dari sakitnya.
Biasanya dokter akan memberi tahu kapan bayi Ibu harus diimunisasi. Namun demikian, tak ada salahnya bila Ibu dan Bapak aktif bertanya, kapan dan imunisasi apa yang harus dilaksanakan bayi selanjutnya. Tanyakan pula apa efeknya setelah bayi menerima imunisasi tersebut dan apa yang harus Bapak-Ibu lakukan.
BILA KEJANG DEMAM
Biasanya bayi akan mengalami panas setelah menerima imunisasi DPT dan MMR. Bila panasnya tak terlalu tinggi atau hanya sekadar sumeng, tak usah khawatir. Cukup diberi obat penurun panas khusus untuk bayi yang dapat dibeli bebas di apotik.
Obat penurun panas juga dapat diberikan sebelum bayi menerima imunisasi. "Obat ini tak berbahaya dan tak akan menimbulkan efek apa-apa, karena jangka waktu bekerjanya hanya 6 jam," terang Adi Tagor . Jadi, kalau sudah lewat waktunya dan si bayi masih panas, maka boleh diberikan lagi. Normalnya 3 kali sehari. Namun bila panasnya tinggi (38 derajat atau lebih) atau panasnya berlangsung lebih dari 2 hari, sebaiknya Bapak dan Ibu segera menghubungi dokter yang bersangkutan.
Yang penting diperhatikan, bila keluarga Anda memiliki keturunan stuip atau kejang demam; sebaiknya, sebelum bayi diimunisasi, beri tahu dokter tentang hal itu. Sebab, terang Adi, walaupun stuip bukan penyakit berbahaya, namun bila berbaur dengan imunisasi, terutama DPT, maka keadaannya akan tragis.
Selain itu, dengan Anda memberi tahu dokter, maka dokter tak akan menggunakan DPT tapi hanya DT. Jadi, tak termasuk Pertusis atau batuk rejan alias batuk 100 hari. Pertimbangannya, batuk rejan sudah jarang sekali terjadi sehingga lebih baik dilewatkan saja daripada si bayi nanti panas dan kejang.
Kadang dokter juga menggunakan DPT aceluler yang tak ada efek panasnya. Atau, tutur Adi, "sebelum suntikan DPT yang pertama, dubur bayi akan dimasukan dengan obat anti kejang. Dengan begitu, bayi akan aman sampai 6 jam. Disamping, bayi juga diberi obat penurun panas sebelum disuntik dan diulangi setiap 6 jam sekali."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar